Sabtu, 11 Mei 2013

Beda antar Cinta, Suka, dan Sayang


Dihadapan orang yang kau cintai,
Musim dingin berubah menjadi musim semi yang indah
Dihadapan orang yang kau sukai,
Musim dingin tetap saja musim dingin,hanya suasananya lebih undah sedikit

Dihadapan orang yang kau cintai
Jantungmu tiba-tiba berdebar lebih cepat
Dihadapan orang yang kau sukai,
Kau hanya merasa senang dan gembira saja.

Apabila engkau melihat kepada mata orang yang kau cintai,
Matamu berkaca-kaca
Apabila engkau melihat kepada mata orang yang kau sukai,
Engkau hanya tersenyum saja

Dihadapan orang yang kau cintai,
Kata-kata yang keluar berasal dari perasaan yang terdalam
Dihadapan orang yang kau sukai
Kata-kata hanya keluar dari pikiran saja.

Jika orang yang kau cintai menangis,engkaupun akan ikut menangis disisinya
Jika orang yang kau sukai menangis,engkau hanya menghibur saja.

Perasaan cinta itu dimulai dari mata sedangkan rasa suka dimulai dari telinga.
Jadi jika kau mau berhenti menyukai seseorang,cukup dengan menutup telingga,
Tapi apabila kau mencoba menutup matamu dari orang yang kau cintai,cinta itu
berubah menjadi tetesan air mata dan terus tinggal dihatimu dalam jarak waktu
yang cukup lama.
"Tetapi selain rasa suka dan rasa cinta… ada perasaan yang lebih mendalam,yaitu
rasa saying…rasa yang tidak hilang secepat rasa cinta.Rasa yang tidak mudah
berubah.
Perasaan yang dapat membuatmu berkorban untuk orang yang kamu sayangi.Mau
menderita demi kebahagiaan orang yang kamu sayangi.Cinta ingin memiliki,tetapi
sayang hanya ingin melihat orang yang disayanginya bahagia….walaupun harus
kehilangan.

Untuk seseorang yang sedang jatuh cinta….......

Senin, 06 Mei 2013

Pandangan Tindakan Euthanasia menurut Pandangan Hukum Yang berlaku di Indonesia



Oleh :
Pujiaman
Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai aturan Hukum berdasarkan permasalahan dari sosial kemasyarakatan. Barbagai persoalan dalam kehidupan bermasyarakat, dalam melakukan interaksi sosial selalu di ikat atau diimbangi oleh aturan hukum agar keseimbangan, ketentraman, keselarasan dan keamanan. Hukum menjamin dan melindungi Hak dan Kewajiban individu sebagai subjek hukum, dimana Kepastian hukum meruapakan benteng untuk melindungi ancaman atau ketidaknyamanan yang timbul akibat interaksi sosial yang terkadang membawa efek dan dampak hukum itu sendiri.

Di Indonesia sangat banyak nya aturan hukum yang mengatur tentang Keselarasan Kehidupan masyarakat dalam melakukan interaksi sosial. Hampir setiap tahun Pemerintah selalu mengeluarkan Undang-undang (aturan Hukum), baik Ius Constitutum (saat ini) maupun Ius Constutuendum (akan datang) dalam bentuk hukum indonesia yang menganut sistem Civil law (Eropa Continental) yang selalu berkiblat pada azas Legalitas (Nullum Delectum Sine Preavia Legi Ponaly atau seseorang tidak dapat di hukum bila tidak ada hukum yang mengaturnya), berdeda dengan bentuk hukum negara yang menganut sistem Comman Law (Anglo Sexon), dimana apabila tidak ada aturan yang mengatur tentang perbuatan yang di lakukan, namun dalam hal perbuatan tersebut merugikan orang lain, maka hakim berperan sebagai Judge Made Law (Hakim sebagai Pembuat Undang-undang).

Dalam hal ini tidak lupa juga tentang euthanasia di indonesia. Yang sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Di sisi lain, pasien sudah dalam keadaan kritis sehingga takjarang pasien atau keluarganya meminta dokter untuk menghentikan pengobatan terhadap yang bersangkutan. Dari sinilah dilema muncul dan menempatkan dokter atau perawat pada posisi yang serba sulit. Dokter dan perawat merupakan suatu profesi yang mempunyai kode etik sendiri sehingga mereka dituntut untuk bertindak secara profesional. Pada satu pihak ilmu dan teknologi kedokteran telah sedemikian maju sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang (walaupun istilahnya hidup secara vegetatif).

Dokter dan perawar merasa mempunyai tanggung jawab untuk membantu menyembuhkan penyakit pasien, sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah. Masyarakat mempunyai hak untuk memilih yang harus dihormati, dan saat ini masyarakat sadar bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih hidup atau mati. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, hukum dan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju.
Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death / easy death sering pula disebut “mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien. Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan  teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun Hal ini bisa dilihat dari sisi Hukum yang berlaku di Indonesia.

Pandangan Hukum Terhadap Euthanasia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.

Aspek Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau  rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.
Adapun Pasal-pasal yang berkenaan dengan Euthanasia adalah :
-       Pasal 344 KUHP
barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
-       Pasal 338 KUHP   
barang siapa dngan sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
-       Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, di        hukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
-       Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya juga dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.
-       Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam skenario ini, maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selama-lamanya empat tahun penjara.

Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

Melihat pelaksanaan euthanasia dan berdasarkan UU no 39 tahun 1999  Hak Asasi Manusia dan The universal declaration of human right serta KUHP dapat saya simpulkan beberapa hal yang dinilai melanggar Hukum dan HAM dalam euthanasia tetapi tidak secara jelas saya mencoba menyimpulkan berdasarkan berdasarkan beberap hal yang kiranya menurut penilaian umum dinilai setidaknya melanggar HAM dan hukum yang harus kita perhatikan dari berbagai aspek yang kiranya memuat pelanggran Hukum dan HAM dalam pelaksanaan euthanasia Dalam memberikan penilaian kita perlu melihat jenis euthanasia itu sendiri, karena dari jenisnya kita dapat memberikan penilaian sejauh mana itu dinilai sebagai pelanggaran HAM.

Euthanasia Aktif
a.       Euthanasia Aktif Volentir
Jika kita simak pasal 1 UU no 39 Tahun 1999 tentang HAM “ Hak Asasi Manusia itu adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan  Yang Maha Esa dan merupakan anugerah_Nya yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan  setiap orang demi penghormatan, serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.Sedangkan tindakan dokter yang menyuntikkan zat mematikan ke  dalam tubuh pasien yang dia tahu akan mengahiri kehidupan pasien yang disuntiknya tersebut dengan zat mematikan itu, juga melanggar KODEKI dan sumpah Hipocrates. Jadi bisa disimpulkan bahwa faktor penyebabpelanggaran HAM pada jenis euthanasia ini adalah tindakan yang dilakukan dokter yang memberikan suntikan zat mematikan kepada pasien yang memintah mengakhiri hidupnya.

b.      Euthanasia Aktif non volentir
Dari jenis ini  yang menjadi faktor utama pelanggaran hukum dan HAM adalah karena dokter dan keluarga dekat pasien melakukan tindakan euthanasia secara aktif tanpa persetujuan dari pasien. Rasa kasihan dan sebagainya tidaklah menjadi suatu hal yang membenarkan euthanasia.
c.       Euthanasia Aktif involuntir
Pada jenis ini sama saja dengan kedua jenis sebalumnya tetapi hanya terletak dari keadaan bahwa dokter yang secara aktif melakukan tindakan yang dapat mematikan pada pasien tanpa seizin pasien tersebut karena berada dalam keadaan Terminally ill.  Jika dilihat dari hukum pidana Indonesia, tindakan ini tidak dibenarkan dan dokter yang melakukan tindakan ini harus siap menerima hukuman karena melanggar pasal 338 atas penghilangan jiwa orang lain.

Euthanasia Pasif
a.       Euthanasia Pasif Voluntir
Tindakan dokter yang menghentikan atau mencabut tindakan atau pengobatan yang diperlukan untuk mempertahankan hidup pasien. Walaupun tindakan ini dilakukan atas permintaan pasien. Jika dipikirkan dari sisi pasien ada beberapa aspek yang memungkinkan pasien melakukan itu, misalnya sudah merasa siap untuk menemui ajalnya atau berpikir berobat tidak akan berguna lagi menyelamatkan hidupnya dan akan menghabiskan biaya saja dan akhirnya tetap berujung pada kematian. Dalam euthanasia jenis ini tidak ada pelanggaran HAM, dalam pandangan iman bisa saja euthanasia ini dilakukan dengan catatan bahwa sang pasien sudah bebar-benar siap secara iman untuk meninggal secara bermartabat dengan suasana damai di tengah keluarganya.

b.      Euthanasia Pasif non Voluntir
Yang menyebabkan timbulnya pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam tindakan ini adalah adanya tindakan penghentian tindakan penyelamatan atau perawatan terhadap pasien yang tidak sadarkan diri. Mengapa saya mengatakan demikian karena tindakan itu tidak seharusnya dilakukan karena sama saja dengan ketidakpedulian atau penghormatan atas suatu kehidupan yang semestinya dihargai oleh dokter sampai pada akhirnya orang tersebut benar-benar dalam kematian biologis.

c.       Euthanasia Pasif Involuntir
Penghentian tindakan pengobatan dan pencabutan segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mepertahankan hidup manusia dilakukan tidak atas persetujuan pasien sedangkan pasien masih ingin hidup.Tindakan demikian diatas sama saja dengan merampas hak hidup pasiendan secara medis ini sangat tidak dibenarkan, karena tindakan ini sama saja denga mengabaikan hak hidup sipasien tanpa seijinnya. Hal ini menunjukkan tindakan seorang dokter yang harus menghormati hidup setiap insani.Tindakan pembiaran merupakan faktor pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam jenis pelanggaran ini juga perampasan hidup pasien karena sang   pasien masih ingin hidup tapi di rampas hidupnya karena penghentian tindakan pengobatan.
Indonesia euthanasia merupakan perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.

 * Penulis adalah mahasiswa fakultas hukum unmuha *

Senin, 29 April 2013

Hukum Islam Tentang Pacaran



                                            Oleh : Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Unmuuha


Pendahuluan
Sebelum anda  melanjutkan membaca artikel soal hukum islam tentang pacaran ini, agar anda tidak kecewa, maka saya ingin menyampaikan kesimpulannya terlebih dahulu, bahwa hukum islam tentang pacaran adalah haram. Mohon maaf mengecewakan para pembaca. Tapi itulah kenyataannya, entahlah bila ada yang memiliki argumen yang berbeda soal hukum islam tentang pacaran. Kesimpulan itu saya dapatkan setelah browsing artikel mengenai hukum islam tentang pacaran di internet.
Saya memutuskan untuk membuat artikel mengenai hukum islam tentang pacaran ini setelah membaca beberapa artikel dari situs lain. Saya merasa perlu membagikan “kabar buruk” ini kepada anda yang sedang jatuh cinta dan berpacaran, namun mungkin menjadi “kabar baik” bagi mereka yang sedang menjomblo. Sekali lagi mohon maaf sebelumnya.
Tapi islam adalah rahmat dan hukum islam tentang pacaran tentu saja bertujuan untuk memberikan kebaikan bagi kita semua. Untuk itulah, sehingga penting bagi kita untuk mengetahui mengapa hukum islam tentang pacaran adalah haram.

Hukum Islam Tentang Pacaran
Dalam al-Quran, surah Al Isra ayat 32, telah disebutkan bahwa yang artinya:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Pacaran adalah perbuatan yang mendekati zina. Insan yang sedang kasmaran akan cenderung untuk melakukan perbuatan yang meendekati zina. Orang yang berpacaran tentu saja ingin selalu berduaan dan cenderung mencari tempat yang sepi jauh dari keramaian agar dapat berdua saja menikmati suasana. Sehubungan dengan hal ini, maka Nabi bersabda bahwa:
Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat sepi), sebab syaiton menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya.” (HR. Imam Bukhari Muslim).
Sehubungan dengan hukum islam tentang pacaran yang diharamkan, maka seperti yang diriwayatkan oleh Abdullah Bin Mas’ud, bahwa nabi memberikan resep bagi mereka yang ingin berpacaran dengan cara yang halal dan menghindari zina. Nabi bersabda bahwa:
Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa diantara kalian belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu”. (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah, dan Tirmidzi).
Hukum Islam Tentang PacaranDemikianlah bahwa hukum islam tentang pacaran adalah haram dan bila anda telah memiliki kemampuan dan ingin merasakan pacaran yang halal maka menikahlah, namun bila anda belum memiliki kemampuan untuk menikah, maka berpuasalah. Demikian artikel mengenai hukum islam tentang pacaran semoga bermanfaat bagi kita semua.

Hukum Agraria

Oleh : Novrizal Juanda


                                            BAB I
                                  PENDAHULUAN
1    1.  Latar Belakang
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan wanprestasi.
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan individual.
Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa tanah yang berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala besar. Yang bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.
1.2  Rumusan Masalah
Untuk memberikan arah, penulis bermaksud membuat suatu perumusan masalah sesuai dengan arah yang menjadi tujuan dan sasaran penulisan dalam paper ini. Perumusan masalah menurut istilahnya terdiri atas dua kata yaitu rumusan yang berarti ringkasan atau kependekan, dan masalah yang berarti pernyataan yang menunjukkan jarak antara rencana dengan pelaksanaan, antara harapan dengan kenyataan. Perumusan masalah dalam paper ini berisikan antara lain :
Ø  Apa arti dari sengketa Tanah ?
Ø  Bagaimana penyelesaian kasus penyelesaian sengketa tanah antara militer dengan warga masyarakat di jawa timur ?
Ø  Sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa tanah ?
1.3  Tujuan Penelitian
Adapun beberapa tujuan penelitian dari paper ini yaitu :
·         Untuk mengetahui sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa tanah.
·         Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian terbaik terhadap tanah yang dijadikan obyek sengketa tersebut .
·         Guna menambah wawasan dan pengetahuan bagi para mahasiswa mengenai cara menangani suatu sengketa atas tanah .
·         Dapat bermanfaat dan memberikan informasi tentang bagaimana proses penguasaan tanah, jaminan hukumnya, serta penyelesaian mengenai sengketa tanah bagi para mahasiswa.
1.4  Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan paper ini yaitu :
1. Studi Kepustakaan
Yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku, dokumen-dokumen laporan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan penelitian.
2. Bahan – bahan yang didapatkan melalui Intenet.
1.5  Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan paper ini di bagi menjadi 4 bab, sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN, Pada bab ini yang merupakan pendahuluan, terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM SENGKETA TANAH, Pada bab ini diuraikan sekilas mengenai pengertian dari sengketa tanah, bagaimana penyelesaiakan terhadap sengketa tanah, sertipikat sebagai kekuatan alat nukti dalam penyelesaian sengketa tanah.
BAB III : INTI MASALAH, Pada bab ini menguraikan mengenai permasalahan penyelesaian sengketa tanah antara militer di Jawa Timur.
BAB IV : PENUTUP, Pada bab penutup ini berisikan tentang kesimpulan dari materi penyelesaian sengketa tanah dan saran atas paper yang telah dibuat ini.

                                                                 BAB II
                                                           PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Sengketa Tanah
Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :
·         · Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
·         · Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
·         · Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah),
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu :
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
2.2  Penyelesaian Sengketa Tanah
Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional)yaitu :
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
Ø  mengenai masalah status tanah,
Ø  masalah kepemilikan,
Ø  masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
Ø  Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Ø  Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Ø  Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
Ø  Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan
2.3  Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan membuktikan adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Kekuatan Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
·         Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
·         Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
·         Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar.
                                                                       BAB III
                                                                    PENUTUP
3.1 Kesimpulan 
      Dari berbagai penjelasan dapat di tarik kesimpulan mengenai  berbagai masalah yang timbul yaitu dimana Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:
1.      Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2.      Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3.      Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan
3.2 Saran
            Apabila akan melakuan suatu perjanjian mengenai tanah sebaiknya dilakukan dengan membuat suatu perjanjian tertulis yang di saksian oleh notaris agar tidak ada terjadi kesalah pahaman antara si pembuat perjanjian.dan perlu juga melampirkan sertifikat asli dari taanh tersebut.dimana Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Kekuatan Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :
1. Sistem Positif
Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.
2. Sistem Negatif

Menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang tercantum didalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.
** Penulis adalah : Ketua Umum Himpunan Komunitas Peradilan Semu Fakultas Hukum Unmuha.