Senin, 06 Mei 2013

Pandangan Tindakan Euthanasia menurut Pandangan Hukum Yang berlaku di Indonesia



Oleh :
Pujiaman
Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai aturan Hukum berdasarkan permasalahan dari sosial kemasyarakatan. Barbagai persoalan dalam kehidupan bermasyarakat, dalam melakukan interaksi sosial selalu di ikat atau diimbangi oleh aturan hukum agar keseimbangan, ketentraman, keselarasan dan keamanan. Hukum menjamin dan melindungi Hak dan Kewajiban individu sebagai subjek hukum, dimana Kepastian hukum meruapakan benteng untuk melindungi ancaman atau ketidaknyamanan yang timbul akibat interaksi sosial yang terkadang membawa efek dan dampak hukum itu sendiri.

Di Indonesia sangat banyak nya aturan hukum yang mengatur tentang Keselarasan Kehidupan masyarakat dalam melakukan interaksi sosial. Hampir setiap tahun Pemerintah selalu mengeluarkan Undang-undang (aturan Hukum), baik Ius Constitutum (saat ini) maupun Ius Constutuendum (akan datang) dalam bentuk hukum indonesia yang menganut sistem Civil law (Eropa Continental) yang selalu berkiblat pada azas Legalitas (Nullum Delectum Sine Preavia Legi Ponaly atau seseorang tidak dapat di hukum bila tidak ada hukum yang mengaturnya), berdeda dengan bentuk hukum negara yang menganut sistem Comman Law (Anglo Sexon), dimana apabila tidak ada aturan yang mengatur tentang perbuatan yang di lakukan, namun dalam hal perbuatan tersebut merugikan orang lain, maka hakim berperan sebagai Judge Made Law (Hakim sebagai Pembuat Undang-undang).

Dalam hal ini tidak lupa juga tentang euthanasia di indonesia. Yang sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Di sisi lain, pasien sudah dalam keadaan kritis sehingga takjarang pasien atau keluarganya meminta dokter untuk menghentikan pengobatan terhadap yang bersangkutan. Dari sinilah dilema muncul dan menempatkan dokter atau perawat pada posisi yang serba sulit. Dokter dan perawat merupakan suatu profesi yang mempunyai kode etik sendiri sehingga mereka dituntut untuk bertindak secara profesional. Pada satu pihak ilmu dan teknologi kedokteran telah sedemikian maju sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang (walaupun istilahnya hidup secara vegetatif).

Dokter dan perawar merasa mempunyai tanggung jawab untuk membantu menyembuhkan penyakit pasien, sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah. Masyarakat mempunyai hak untuk memilih yang harus dihormati, dan saat ini masyarakat sadar bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih hidup atau mati. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, hukum dan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju.
Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death / easy death sering pula disebut “mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien. Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan  teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun Hal ini bisa dilihat dari sisi Hukum yang berlaku di Indonesia.

Pandangan Hukum Terhadap Euthanasia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.

Aspek Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau  rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.
Adapun Pasal-pasal yang berkenaan dengan Euthanasia adalah :
-       Pasal 344 KUHP
barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
-       Pasal 338 KUHP   
barang siapa dngan sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
-       Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, di        hukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
-       Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya juga dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.
-       Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam skenario ini, maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selama-lamanya empat tahun penjara.

Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

Melihat pelaksanaan euthanasia dan berdasarkan UU no 39 tahun 1999  Hak Asasi Manusia dan The universal declaration of human right serta KUHP dapat saya simpulkan beberapa hal yang dinilai melanggar Hukum dan HAM dalam euthanasia tetapi tidak secara jelas saya mencoba menyimpulkan berdasarkan berdasarkan beberap hal yang kiranya menurut penilaian umum dinilai setidaknya melanggar HAM dan hukum yang harus kita perhatikan dari berbagai aspek yang kiranya memuat pelanggran Hukum dan HAM dalam pelaksanaan euthanasia Dalam memberikan penilaian kita perlu melihat jenis euthanasia itu sendiri, karena dari jenisnya kita dapat memberikan penilaian sejauh mana itu dinilai sebagai pelanggaran HAM.

Euthanasia Aktif
a.       Euthanasia Aktif Volentir
Jika kita simak pasal 1 UU no 39 Tahun 1999 tentang HAM “ Hak Asasi Manusia itu adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan  Yang Maha Esa dan merupakan anugerah_Nya yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan  setiap orang demi penghormatan, serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.Sedangkan tindakan dokter yang menyuntikkan zat mematikan ke  dalam tubuh pasien yang dia tahu akan mengahiri kehidupan pasien yang disuntiknya tersebut dengan zat mematikan itu, juga melanggar KODEKI dan sumpah Hipocrates. Jadi bisa disimpulkan bahwa faktor penyebabpelanggaran HAM pada jenis euthanasia ini adalah tindakan yang dilakukan dokter yang memberikan suntikan zat mematikan kepada pasien yang memintah mengakhiri hidupnya.

b.      Euthanasia Aktif non volentir
Dari jenis ini  yang menjadi faktor utama pelanggaran hukum dan HAM adalah karena dokter dan keluarga dekat pasien melakukan tindakan euthanasia secara aktif tanpa persetujuan dari pasien. Rasa kasihan dan sebagainya tidaklah menjadi suatu hal yang membenarkan euthanasia.
c.       Euthanasia Aktif involuntir
Pada jenis ini sama saja dengan kedua jenis sebalumnya tetapi hanya terletak dari keadaan bahwa dokter yang secara aktif melakukan tindakan yang dapat mematikan pada pasien tanpa seizin pasien tersebut karena berada dalam keadaan Terminally ill.  Jika dilihat dari hukum pidana Indonesia, tindakan ini tidak dibenarkan dan dokter yang melakukan tindakan ini harus siap menerima hukuman karena melanggar pasal 338 atas penghilangan jiwa orang lain.

Euthanasia Pasif
a.       Euthanasia Pasif Voluntir
Tindakan dokter yang menghentikan atau mencabut tindakan atau pengobatan yang diperlukan untuk mempertahankan hidup pasien. Walaupun tindakan ini dilakukan atas permintaan pasien. Jika dipikirkan dari sisi pasien ada beberapa aspek yang memungkinkan pasien melakukan itu, misalnya sudah merasa siap untuk menemui ajalnya atau berpikir berobat tidak akan berguna lagi menyelamatkan hidupnya dan akan menghabiskan biaya saja dan akhirnya tetap berujung pada kematian. Dalam euthanasia jenis ini tidak ada pelanggaran HAM, dalam pandangan iman bisa saja euthanasia ini dilakukan dengan catatan bahwa sang pasien sudah bebar-benar siap secara iman untuk meninggal secara bermartabat dengan suasana damai di tengah keluarganya.

b.      Euthanasia Pasif non Voluntir
Yang menyebabkan timbulnya pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam tindakan ini adalah adanya tindakan penghentian tindakan penyelamatan atau perawatan terhadap pasien yang tidak sadarkan diri. Mengapa saya mengatakan demikian karena tindakan itu tidak seharusnya dilakukan karena sama saja dengan ketidakpedulian atau penghormatan atas suatu kehidupan yang semestinya dihargai oleh dokter sampai pada akhirnya orang tersebut benar-benar dalam kematian biologis.

c.       Euthanasia Pasif Involuntir
Penghentian tindakan pengobatan dan pencabutan segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mepertahankan hidup manusia dilakukan tidak atas persetujuan pasien sedangkan pasien masih ingin hidup.Tindakan demikian diatas sama saja dengan merampas hak hidup pasiendan secara medis ini sangat tidak dibenarkan, karena tindakan ini sama saja denga mengabaikan hak hidup sipasien tanpa seijinnya. Hal ini menunjukkan tindakan seorang dokter yang harus menghormati hidup setiap insani.Tindakan pembiaran merupakan faktor pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam jenis pelanggaran ini juga perampasan hidup pasien karena sang   pasien masih ingin hidup tapi di rampas hidupnya karena penghentian tindakan pengobatan.
Indonesia euthanasia merupakan perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.

 * Penulis adalah mahasiswa fakultas hukum unmuha *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar