“Lebih baik
kita menyalakan sebuah lilin kecil daripada (hanya) menyumpahi kegelapan.
(pepatah Skotlandia)”
Dalam
menyikapi sesuatu, kita akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara kita
memandang persoalan itu sendiri, demikian juga dalam memandang polisi,
yang kini sedang mengalami proses metamorfosis melalui reformasi struktural,
instrumental dan reformasi kulturalnya. Setiap orang bisa dan berhak
memandangnya dari sudut pandang masing-masing, tetapi yang pasti kita tidak
boleh mengembangkan apalagi memaksakan pandangan pesimis yang mengalahkan rasa
optimis. Seperti pepatah Skotlandia di awal tulisan ini, karena terus-menerus
menyalahkan kegelapan tidak akan membawa kita keluar dari kegelapan itu
sendiri. Kupu kupu yang indah dan memberi keindahan, merupakan hasil proses
metamorfosis dari sebuah kepongpong.
Seorang
polisi dalam melaksanakan tugasnya akan memiliki banyak pilihan
untuk menempatkan dirinya pada bentangan yang luas antara spektrum posisi
dibenci atau dimuliakan, atau memilih posisi biasa-biasa saja. Namun apapun
posisi yang dipilih, sesungguhnya polisi senantiasa dibutuhkan masyarakat. Di
era transisional sesungguhnya tidak mudah menjadi seorang polisi.
Menghadapi masyarakat, mereka harus bersikap ramah dan bertindak bijak.
Kepada penjahat, mereka harus selalu waspada. Tak jarang polisi yang
bertugas sebagai penegak hukum, berada di ambang bahaya. Nyawa atau
setidaknya luka di tubuh menjadi taruhannya. Namun, kenyataannya sebagian besar
masyarakat menganggap fungsi polisi sebagai penegak hukum dan
pelayan masyarakat, masih terkontaminasi dengan kesan polisi yang masih
memiliki perilaku distortif dan destruktif baik sebagai penegak hukum maupun
sebagai pelayan masyarakat.
Kata polisi
berasal dari Politeia, adalah sebuah judul buku yang ditulis oleh Plato,
seorang filsuf Yunani Kuno. Buku itu berisi tentang teori dasar polis
atau Negara kota. Pada zaman itu kelompok-kelompok manusia berbentuk himpunan
yang merupakan satu kota (Kunarto 1997:51). Dari kata politeia itu
kemudian timbul kata politik yang di maksudkan sebagai tata cara
mengatur sistim pemerintahan, kata polisi yang mengatur penegakan peraturan,
kata policy atau kebijaksanaan dan sebagainya. Pengembangan dari semua
itulah yang melahirkan Negara dengan segala atribut dan pengaturannya hingga
saat ini.
Kemudian
kata politeia berkembang menjadi maknanya menjadi fungsi polisi seperti yang
ada sekarang. Sampai saat ini polisi di Italia di sebut politeia, yang
di Perancis disebut La Police, di Inggris menyebutnya Police,
Belanda Politie dan German Polizei. Indonesia mengikuti tradisi
Belanda menyebutnya dengan kata Polisi atau Politie di eja dengan ejaan
Indonesia. Di Malaysia mengikuti tradisi Inggris dengan ejaan melayu; Police.
Menurut
Kunarto, (1997) Sejarah kepolisian, tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh
dan berkembangnya peradaban manusia. Setiap peradaban manusia yang memulai dan
merasakan perlunya keamanan, ketentraman, dan ketertiban dalam mempertahankan
kehidupannya, pada saat itulah sebenarnya fungsi polisi itu ada, tumbuh dan
berkembang.
Fungsi
polisi itu tumbuh dan berkembang semakin jelas manakala ancaman terhadap suatu
kelompok semakin nyata. Ancaman itu tidak hanya berupa bahaya yang datang dari
luar kelompok itu, tetapi juga berupa ancaman yang ada didalam kelompok itu
sendiri maupun ancaman dari luar kelompoknya. Kehidupan akan senantiasa
melahirkan pergulatan hebat, dimana manusia yang kuat pada kelompoknya selalu
bertindak sebagai pimpinan untuk melawan musuh dan melindungi kelompok lainnya.
Tindakan manusia kuat itulah wujud dari fungsi polisi yang paling sederhana.
Fenomena
kejiwaan manusia ingin berkuasa misalnya, dapat berbenturan dengan keinginan
yang sama dengan manusia yang lain. Manusia yang ingin berkuasa itu biasanya
memiliki kekuatan yang relative lebih besar dari yang lain. Adanya kelemahan
dari manusia anggota kelompok mengakibatkan ada pihak yang ditundukan dari
pihak yang menundukan. Yang menimbulkan konflik-konflik yang tidak jarang,
menimbulkan tindak kekerasan bahkan menimbulkan peristiwa saling membunuh,
mencelakakan dan saling memfitnah.
Dialektika
dari fenomena-fenomena kejiwaan yang melahirkan perbuatan dan tindak kekerasan
itu, biasanya bermuara pada terwujudnya keselarasan. Untuk itu di perlukan
pihak yang cukup kuat untuk mensintesakan segenap konflik, sehingga yang kuat
melindungi yang lemah dan yang lemah mendukung yang kuat. Keadaan itu
dimungkinkan hanya karena berperannya fungsi polisi dengan baik.
Aspek
Sejarah Yang Membentuk Jati Diri Polri
Dalam
literatur kepolisian Indonesia, polisi sebagai suatu lembaga telah mengakar di
masyarakat diawali dengan pembentukan Barisan Bhayangkara oleh Patih Gajah Mada
di kerajaan Majapahit guna memelihara dan mewujudkan keamanan dan ketentraman
masyarakat, baik untuk menghadapi bahaya dari luar maupun dari dalam kerajaan.
Harsya W. Bachtiar (1994) dalam bukunya “Ilmu Kepolisian: suatu cabang ilmu
yang baru”, menjelaskan bahwa dalam bahasa Sansekerta, kata Bhayangkara berarti
“yang menakutkan”. Pada masa Kerajaan Majapahit pemakaian kata
Bhayangkara masih relevan dalam rangka menjaga keamanan kerajaan dari dalam dan
serbuan dari luar kerajaan.
Meski
sesungguhnya pengertian Bhayangkara lebih tepat untuk
militer. Namun karena kata Bhayangkara sudah melekat dan menjadi
makna yang tidak bisa dilepaskan dari Kepolisian kita, sejatinya Polri yang ada
pada era masyarakat yang demokratis, perlu melakukan reaktualisasi dan
reposisi fungsi dan perannya dalam masyarakat yang demokratis. Abu Suud, (2008)
Guru Besar Ilmu Sejarah dari UNNES, dalam tulisannya juga mengkritisi
mengapa tokoh Gajah Mada yang dijadikan simbolisasi kepolisian Indonesia,
sehingga patung kepalanya dipancangkan di halaman Mabes Polri di Kebayoran Baru
Jakarta. Bagaimana kaitan antara kepribadian maupun penampilan Gajah Mada
di masa lampau dengan peranan polisi saat ini. Gajah Mada memang digambarkan
sebagai tokoh pemersatu, dan berhasil memersatukan Nusantara, seperti yang
sering dikemukakan dengan Sumpah Palapanya. Namun disayangkan dengan
mengembangkan pola kepemimpinan yang otoriter.
Gajah Mada
telah menerapkan pola kepemimpinan otoriter yang diajarkan oleh Kautilyarthasastra
karya pendeta Budha bernama Chanakya yang hidup sekitar tahun 322 SM, di masa
pemerintahan Chandragupta. Para ahli ilmu Negara, menyamakan buku Kautilyarthasastra
dengan buku Il Principe karya Nicolo Macchiaveli, Pola
kepemimpinan otoriter gaya Gajah Mada, tentu tidak relevan untuk diteladani
dalam kepemimpinan Polri saat ini yang hidup dalam alam demokrasi, dan peran
polisi sebagai pemersatu juga masih perlu mendapatkan legitimasi yang kuat dari
masyarakat.
Konsep
Diri Polisi
Mead
(1972) mengemukakan bahwa: “konsep diri merupakan produk sosial yang
dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman psikologis.
Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil ekplorasi individu terhadap
lingkungan fisiknya dan refleksi dari dirinya“. Mengacu pada pendapat Mead
tersebut, maka polisi bukanlah entitas pasif. Polisi sebagai
individu memiliki kreatifitas, kesadaran dan pilihan yang menjadikannya
unik satu sama lain. Identitas Polisi dibentuk, dipelihara, dimodifikasi atau
dibentuk ulang oleh hubungan – hubungan sosial. Maka sesungguhnya identitas
seorang Polisi merupakan hasil konstruksi mereka melalui proses sosial yang
telah dilaluinya. Perubahan seorang dari warga biasa menjadi seorang polisi
melahirkan sebuah perubahan yang pada diri (the self) dan perubahan
paradigma, yang diterimanya sebagai pandangan dunianya yang baru.
Konsep
diri Penegak Hukum
Penegakan
hukum adalah tugas pokok polisi sebagai profesi mulia, yang aplikasinya harus
berkiblat pada asas legalitas, Undang-undang yang berlaku dan Hak Asasi
Manusia. Atau dengan kata lain polisi harus bertindak secara profesional dan
memegang kode etik secara ketat dan keras, sehingga tidak mudah terjerumus
kepada spektrum yang dibenci masyarakat. Atas nama hukum polisi diberikan
kewenangan yang lebih besar. Bahkan, kewenangan ini tidak diberikan kepada
lembaga mana pun untuk memaksa bahkan mengekang kebebasan bahkan mengekang hak
asasi manusia. Antara lain menangkap, menahan, menggeledah, menyita, menyuruh
berhenti, melarang orang meninggalkan tempat, memeriksa identitas orang
tertentu.
Pemberian
kewenangan tersebut juga diiringi oleh, adanya norma-norma serta kode etik yang
harus melandasi tindakan tersebut. Selain itu, penggunaan kewenangan tersebut
juga memiliki konsekuensi hukum di belakangnya. Salah satunya adalah pra
peradilan. Ketika polisi dihadapkan kepada penyalahgunaan kekuatan yang melekat
pada dirinya maka dia harus menerima tuntutan disiplin, kode etik, maupun
peradilan pidana sebagai wujud pertanggungjawaban atas penggunaan kekuatan
tersebut. Dengan demikian penggunaan kekuatan tersebut ada batasan-batasan yang
mengatur serta mengendalikan tindakan tersebut.
Konsep diri
polisi sebagai penegak hukum, wajib mengacu kepada kode etik Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugasnya dengan :
- Menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah;
- Tidak memihak;
- Tidak melakukan pertemuan di luar ruang pemeriksaan dengan pihak-pihak yang terkait dengan perkara;
- Tidak mempublikasikan nama terang tersangka dan saksi;
- Tidak mempublikasikan tatacara, taktik dan teknik penyidikan;
- Tidak menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang dan sengaja menimbulkan rasa kecemasan, kebimbangan dan ketergantungan pada pihak-pihak yang terkait dengan perkara;
- Menunjukkan penghargaan terhadap semua benda-benda yang berada dalam penguasaannya karena terkait dengan penyelesaian perkara;
- Menunjukkan penghargaan dan kerja sama dengan sesama pejabat Negara dalam sistem peradilan pidana;
- Dengan sikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan tentang perkembangan penanganan perkara yang ditanganinya kepada semua pihak yang terkait dengan perkara pidana yang dimaksud, sehingga diperoleh kejelasan tentang penyelesaiannya.
Penggunaan
kekuatan polisi juga sangat dipengaruhi oleh sistim ideologi yang berlaku dan
dianut oleh suatu negara. Di negara yang menganut sistim ideologi politik
otoritarian kekuatan polisi yang digunakan lebih bersifat hegemoni
kekuasaan dari pihak penguasa. Polisi hanya ditugaskan untuk menjadi penjaga
status quo sehingga ketika ada orang atau kelompok tertentu yang melakukan
protes akibat ketidakadilan yang dirasakan maka polisilah yang ditampilkan bak
pemadam kebakaran untuk memadamkan api yang akan bergejolak. Namun,
penggunaannya secara terarah dan terukur serta tetap kekuatan polisi tersebut
dikontrol oleh norma dan aturan hukum yang ada. Penguasa pun tidak serta merta dapat
menggunakan kekuatan polisi sekehendak hatinya. Hal menonjol yang membedakan
kedua sistim ini adalah dari segi kontroling atau pengawasan terhadap
penggunaan kekuatan polisi.
Konsep
Diri Pelayan Masyarakat
Seiring
dengan penguatan masyarakat sipil, tuntutan ke arah perbaikan citra dan kinerja
polisi sebagai pelayan masyarakat telah menjadi wacana publik di era reformasi.
Posisi masyarakat sipil menjadi relatif kuat dalam penyaluran aspirasi dan
menuntut hak-hak mereka atas pelayanan birokrasi kepolisian. Dalam konteks ini,
polisi perlu lebih merevitalisasikan dirinya agar dapat menghasilkan kualitas
layanan yang lebih baik. Keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat sebagai
stakeholder dalam proses penentuan tindakan-tindakan kepolisian merupakan
upaya mewujudkan wajah polisi yang sipil dan demokratis.
Dalam
konteks good governance, pelayanan publik merupakan gerbang utama
reformasi birokrasi karena pelayanan publik adalah ruang dimana masyarakat dan
aparatur negara berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Di sinilah
pelayanan publik seharusnya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik
karena akan terpantau secara transparan kebijakan, prosedur dan perilaku yang
menyimpang.
Saat ini
dilingkungan polisi sudah mulai tumbuh Paradigma pelayanan publik, dari
pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus
pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven)
dan prinsip kemudahan (accessible), desentralisasi urusan dan kewenangan
serta melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung sebagai pengawas
program tersebut. Dalam tataran manajerial organisasi polisi diharapkan mampu
mengubah citra ‘’minta dilayani’’ itu menjadi ‘’memberi pelayanan’’. Konsep
melayani merupakan tindakan proaktif dan preventif terhadap sumber, potensi dan
kerawanan gejolak dalam masyarakat. Komitmen “Polisi Masyarakat” harusnya
menempatkan masyarakat sebagai stake holder dalam memecahkan permasalahan.
Konsep diri
polisi sebagai pelayan masyarakat juga harus dilandasi dan mengacu kepada kode
etik Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat, yang harus senantiasa :
- Memberikan pelayanan terbaik;
- Menyelamatkan jiwa seseorang pada kesempatan pertama;
- Mengutamakan kemudahan dan tidak mempersulit;
- Bersikap hormat kepada siapapun dan tidak menunjukkan sikap congkak/arogan karena kekuasaan;
- Tidak membeda-bedakan cara pelayanan kepada semua orang;
- Tidak mengenal waktu istirahat selama 24 jam, atau tidak mengenal hari libur;
- Tidak membebani biaya, kecuali diatur dalam peraturan perundang-undangan;
- Tidak boleh menolak permintaan pertolongan bantuan dari masyarakat dengan alasan bukan wilayah hukumnya atau karena kekurangan alat dan orang;
- Tidak mengeluarkan kata-kata atau melakukan gerakan-gerakan anggota tubuhnya yang mengisyaratkan meminta imbalan atas batuan Polisi yang telah diberikan kepada masyarakat.
Kita layak
berbangga dan memberikan apresiasi. Pasca-Reformasi, di tubuh Kepolisian
Republik Indonesia sudah mulai tumbuh kesadaran akan pentingnya membangun
hubungan yang terbaik dengan masyarakat, komitmen untuk mentransformasi
identitas diri, dan upaya membangun citra polisi yang lebih baik. Dari yang
semula cenderung sebagai pemburu kriminal, lebih ke konsep diri selaku pengayom,
pelindung, dan pelayan masyarakat. Sejalan dengan pandangan Betz (2001),
sesungguhnya hanya sekitar 10 persen dari seluruh pelaksanaan tugas kepolisian
yang berkaitan dengan penegakan hukum, sedangkan 90 persen lainnya adalah
digunakan oleh polisi untuk melayani masyarakat
Berdasarkan
pandangan tersebut maka keberhasilan tugas kepolisian sesungguhnya sangat
tergantung pada kemampuan polisi dalam membina hubungan yang baik dengan
masyarakat. Idealnya polisi mampu menampilkan diri sebagai seorang komunikator,
setidaknya memahami dasar-dasar komunikasi yang efektif, ketika berhubungan
dengan masyarakat, hingga menjadi polisi yang dipercaya masyarakat. Studi Peter
Ainsworth (1993) terhadap polisi Inggris yang menyatakan bahwa kunci
keberhasilan mereka dalam bertugas adalah selera humor, keterampilan
komunikasi, kemampuan adaptasi, logika awam, asertivitas, sensitivitas,
toleransi, integritas, kemampuan baca tulis, kejujuran, dan kecekatan
memecahkan masalah. Hasil studi Ainsworth tersebut kemudian memberi dasar bagi
perlunya kurikulum berbasis komunikasi dalam pendidikan kepolisian.
Keterampilan berkomunikasi merupakan salah satu faktor penting di balik
suksesnya kerja kepolisian Inggris dalam membangun hubungan dengan masyarakat.
Sekaligus mengindikasikan derajat kesantunan (civility) serta kepedulian polisi
Inggris akan akuntabilitas publik.
Saat ini
Institusi Polri, telah-tengah berjuang untuk memperbaiki citra diri
dalam fungsi tugas utamanya sebagai pelayan masyarakat dan sebagai penegak
hukum, dengan program Quick Wins. Pertama, Quick response,
yaitu mendatangi TKP dengan cepat. Kedua, perbaikan pelayanan SIM/ STNK/
BPKB yang sudah ada layanan SIM keliling, SIM/ STNK masuk Mall, integrated
payment. Ketiga adalah pelayanan Penyidikan secara transparan dan bisa
dipantau. Keempat, atau yang terakhir adalah transparansi penerimaan siswa
sekolah-sekolah Polri. Keempat isu itu merupakan refleksi kesungguhan upaya
reformasi polisi untuk bisa dirasakan secara langsung oleh Masyarakat. Apalagi
tahapan Trust Building dari Polri yang dimulai tahun 2005 harus selesai
di 2010, untuk dilanjutkan dengan Panership di 2011-2015, dan akhirnya excellent
setelah 2016.
Aktualitas
di Masyarakat
Berdasarkan
kajian IPW (Indonesian Police Wacth), tahun 2009. setidaknya terdapat delapan
keluhan masyarakat yang ditujukan pada Polri. Kedelapan keluhan itu adalah :
- Polisi dianggap arogan,
- Masih terjadi diskriminasi,
- Melakukan korupsi melalui berbagai pungutan liar,
- Dinilai lamban dalam bertindak,
- Tidak tegas dalam menindak pelaku kejahatan, utamanya yang melibatkan pemegang kekuasaan,
- Kurang transparan,
- Tidak memiliki akuntabilitas,
- Dan terkesan militeristik.[1]
Sejak pemisahan
kepolisian dari jajaran angkatan bersenjata, banyak pertanyaan menyangkut
kesiapan lembaga tersebut mengubah diri. Pertanyaan ini muncul menyangkut
agenda perubahan yang harus dilakukan Polri agar mampu bekerja sesuai dengan
tantangan barunya. Beban di pundak Polri ternyata tidak ringan. Di satu sisi,
belum semua anggota Polri siap menjalankan peran dan visinya yang baru
berkaitan dengan sikap mental dan budaya institusi yang memerlukan proses dan
waktu untuk berubah. Di sisi lain, masyarakat tidak sabar melihat kinerja
Polri yang masih belum banyak berubah dari pola dan cara lama. Tantangan ini
menuntut polisi untuk benar-benar memiliki nilai-nilai integritas (integrity),
kewajaran (fairness), dan respek (recpect) pada konstitusi dan
otoritas pemerintahan, jujur (honesty), berani (courage), dan
welas asih (compassion), agar polisi dapat bersikap arif dan bijaksana
dalam merespons setiap situasi dan kondisi yang berbeda.
Polisi amat
dibutuhkan, terutama saat instabilitas, kriminalitas, dan kekerasan komunal
kian merebak. Masalahnya, mengapa polisi yang dirindu juga sekaligus dibenci
?. Dalam pandangan Robert Bala, “Membangun sebuah image positif bukanlah
hal mudah. Ia memerlukan proses perjuangan yang melelahkan. Aneka elemen
konstitutif sebagai core values diciptakan untuk menyatukan perjuangan,
menggugah keteladanan internal, dan menuai dukungan eksternal masyarakat.
Masalahnya, mengapa harapan itu tidak mudah terwujud? Atas pertanyaan ini,
Robert Bala, mengutip pendapat Saturla J dalam Vulnerabilidad, Dignidad
Justicia: Valores éticos Fundamentales en un Mundo Globalizado, membuka
rahasianya. “Ia mudah sirna karena kebijakan dalam bentuk aturan yang
seharusnya dibuat secara bijak sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur dibuat
seadanya. Akibatnya, pribadi yang terbentuk tidak utuh. Hal2 internal yang
lahir sebagai kebajikan diri menjadi langka”. [2]
Tulisan Putu
Setia, tentang polisi, memberi pesan kepada kita masyarakat tampaknya
perlu merenungkan kisah menarik drama George Bernard Shaw, berjudul Pygmalion.
Mengisahkan seorang gadis udik-miskin penjual bunga, bernama Eliza Doolittle,
yang akhirnya “berubah” (bertransformasi) menjadi seorang “putri”. Selanjutnya,
dalam film musikal My Fair Lady, Eliza merefleksikan konsep transformasi itu
dalam kalimat-kalimatnya, “Yang membedakan gadis penjual bunga dengan seorang
putri, bukan terletak pada perilakunya, tetapi pada bagaimana dia
diperlakukan”. Kepada Profesor Higgins, saya akan berlaku sebagai gadis udik
penjual bunga sebab dia memperlakukan saya seperti itu. Tetapi kepada Anda,
Kolonel Pickering, saya yakin bisa menjadi seorang putri,sebab Anda memperlakukan
saya sbg seorang putri.” [3]
Itulah yang
dimaksud dengan konsep atau efek Pygmalion, yang berarti; sikap
seseorang terhadap orang lain, termasuk bagaimana atau cara menyikapi,
mengharapkan, yang akan menjadi kekuatan, pengaruh yang hebat dalam mengubah
atau membentuk orang lain. Efek Pygmalion ini mengejahwantah menjadi self
fulfilling prophecy, (sebuah harapan yang terpenuhi dengan sendirinya),
yang tercermin dalam kalimat-kalimat Eliza Doolittle. Sepertinya kita perlu
mengubah sikap dan harapan, kita perlu melahirkan efek Pygmalion dalam
menyikapi “polisi kita”. Dengan sikap yang dilandasi efek Pygmalion itulah,
kita boleh menunggu lahirnya self fulfilling prophecy dari polisi untuk
jauh lebih professional dalam bekerja. [4]
Sikap serba
prasangka hanya bisa dilawan dengan “sikap Pygmalion” mencoba efek Pygmalion,
yang nantinya akan menentukan: apakah polisi kita jadi “orang yang dibenci” atau
“seorang yang dimuliakan” Tentu diperlukan transformasi dalam bersikap dan
bekerja dari polisi sendiri. Perlu tekad kerja keras dari polisi, untuk menuju
sikap kerja serba “esensi”. Artinya, berorientasi kerja lebih hakiki dengan
melandaskan diri pada KEBENARAN baik itu data, fakta, informasi. yang harus
menjadi alat yang melandasi proses analisa dan pengambilan keputusan tentang
“kebenaran dan keadilan” Transformasi sikap dari kedua pihak inilah yang
nantinya akan bertemu di titik simpul sinergi “kemitraan polisi-rakyat”.
Realitas di
lapangan menunjukkan bahwa praktik-praktik perpolisian di Indonesia hingga
saat, masih cenderung mengisolasikan aparat kepolisian dari masyarakat yang
dilayaninya yang tentunya berdampak pada kinerja kepolisian untuk melakukan
pengendalian kejahatan yang lebih efisien. Oleh karena itu, penerapan community
policing sangat dibutuhkan untuk memberikan ruang bagi para aparat penegak
hukum tersebut untuk memperbaiki kembali hubungannya dengan warga masyarakat
yang merupakan mitra utamanya. Kemitraan adalah salah satu wujud nyata
komunikasi sehingga kedua belah pihak, terlebih pihak kepolisian sebagai pihak
yang paling berperan dalam mewujudkan kemitraan yang memberi nilai tambah perlu
menerapkan strategi komunikasi yang tepat.
Hal ini
sejalan dengan hasil Pusat Penelitian Hak Asasi Manusia UII Yogyakarta (2001)
yang meneliti kemitraan polisi dan masyarakat pasca reformasi, yang menampung
semua pendapat masyarakat mengenai polisi dan apa komentar polisi tentang
masyarakat. Hasilnya sangat memprihatinkan, dua belah pihak saling menebar rasa
kekecewaan dan malas untuk memercayai satu sama lain. Masyarakat lebih memilih
bertindak pragmatis dalam berhubungan dengan polisi dan polisi juga menilai
masyarakat terlalu banyak menuntut kepadanya.
Di
tengah-tengah hubungan polisi masyarakat yang fluktuatif, terkadang membara,
ada baiknya kita mengenang almarhum Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso, yang
memaknai jati dirinya sebagai polisi dan perannya di tengah masyarakat. Hoegeng
memaknai seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal polisi. Tentu
saja yang terakhir memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang lebih besar.
“Hakikat seorang polisi demikianlah, yang membuat saya mencintai tugas
kepolisian dan bangga sebagai polisi, tanpa membedakan kedudukan dan pangkat!”
Hoegeng membuktikannya dengan tidak pernah merasa malu turun tangan mengambil
alih tugas teknis seorang agen polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau
tidak di tempat. Misalnya jika di suatu perempatan jalan terjadi kemacetan lalu
lintas, kadang kala dengan baju dinas Kapolri, beliau menjalankan tugas seorang
polisi lalu lintas di jalan raya. “Saya melakukan dengan ikhlas. Sekaligus
memberikan contoh teladan tentang motivasi dan kecintaan polisi akan tugasnya,
sekaligus memberikan teguran dan peringatan secara halus kepada bawahan yang
lalai atau malas!” Dalam persepsinya tentang kehormatan, kewajiban, dan
tanggung jawab polisi, maka keinginannya yang pertama adalah memulai menegakkan
citra ideal seorang polisi dari diri sendiri. Berbarengan dengan itu menaikkan
pula citra seorang komandan polisi yang baik.
Seiring bertambahnya usia, dan
terjadinya proses dialektika antara polisi dan masyarakat. Masyarakat berharap
Polri, senantiasa mengubah jati dirinya menjadi polisi yang mengedepankan
nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Polri bermetamorfosis menjadi sosok
polisi yang dipercaya, dicintai dan professional dalam melaksanakan
tugasnya. Dan masyarakat harus meresponya dengan sikap positif, namun tetap kritis,
suportif dan proposional dalam menyikapi reformasi yang sedang
dilaksanakan oleh kepolisian kita. Wajah polisi adalah wajah kita semua, karena
polisi lahir dari masyarakat dan berkarya di tengah masyarakat.
Sejatinya,
Polisi dan masyarakat selalu berada dalam satu kuadran, dengan dua kondisi dan
dua penyikapan yang berlawanan: baik atau buruk. Polisi dan masyarakat yang
baik adalah polisi dan masyarakat yang bersikap baik dalam kondisi (
sosial, emosional, finansial, dll.) yang baik. Polisi dan masyarakat yang buruk
adalah polisi dan masyarakat yang bersikap buruk dalam kondisi yang buruk.
Polisi dan masyarakat yang paling buruk, adalah polisi-masyarakat yang selalu
bersikap buruk dalam kondisi yang baik. Polisi dan masyarakat yang paling baik
dan ideal adalah polisi-masyarakat yang sanggup bersikap baik, sekalipun dalam
kondisi buruk.
*Penulis adalah Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Unmuha *
[1] Harian Umum Pikiran Rakyat, 1 Juli
2009
[2] Harian Umum Kompas, 1 Juli 2009
[3] Harian Umum Kompas, 17/11/2002
[4] Harian Umum Kompas, 17/11/2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar