Minggu, 28 April 2013

Konsep Polisi Sebagai Penegak Hukum dan Pelayan Masyarakat: Sebuah Metamorfosis



Oleh: Novrizal Juanda.
“Lebih baik kita menyalakan sebuah lilin kecil daripada (hanya) menyumpahi kegelapan. (pepatah Skotlandia)”
Dalam menyikapi sesuatu, kita akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara kita memandang persoalan itu sendiri, demikian juga  dalam memandang polisi, yang kini sedang mengalami proses metamorfosis melalui reformasi struktural, instrumental dan reformasi kulturalnya. Setiap orang bisa dan berhak memandangnya dari sudut pandang masing-masing, tetapi yang pasti kita tidak boleh mengembangkan apalagi memaksakan pandangan pesimis yang mengalahkan rasa optimis. Seperti pepatah Skotlandia di awal tulisan ini, karena terus-menerus menyalahkan kegelapan tidak akan membawa kita keluar dari kegelapan itu sendiri. Kupu kupu yang indah dan memberi keindahan, merupakan hasil proses metamorfosis dari sebuah kepongpong.
Seorang  polisi  dalam melaksanakan tugasnya akan memiliki banyak pilihan  untuk menempatkan dirinya pada bentangan yang luas antara spektrum posisi dibenci atau dimuliakan, atau memilih posisi biasa-biasa saja. Namun apapun posisi yang dipilih, sesungguhnya polisi senantiasa dibutuhkan masyarakat. Di era transisional sesungguhnya tidak mudah menjadi seorang polisi. Menghadapi  masyarakat, mereka harus bersikap ramah dan bertindak bijak. Kepada penjahat, mereka harus selalu waspada. Tak jarang  polisi yang bertugas  sebagai penegak hukum, berada  di ambang bahaya. Nyawa atau setidaknya luka di tubuh menjadi taruhannya. Namun, kenyataannya sebagian besar masyarakat   menganggap fungsi polisi sebagai penegak hukum dan pelayan masyarakat, masih terkontaminasi dengan kesan polisi yang masih memiliki perilaku distortif dan destruktif baik sebagai penegak hukum maupun sebagai pelayan masyarakat.
Kata polisi berasal dari Politeia, adalah sebuah judul buku yang ditulis oleh Plato, seorang filsuf Yunani  Kuno. Buku itu berisi tentang teori dasar polis atau Negara kota. Pada zaman itu kelompok-kelompok manusia berbentuk himpunan yang merupakan satu kota (Kunarto 1997:51).  Dari kata politeia itu kemudian timbul kata politik yang di maksudkan sebagai tata cara mengatur sistim pemerintahan, kata polisi yang mengatur penegakan peraturan, kata policy atau kebijaksanaan dan sebagainya. Pengembangan dari semua itulah yang melahirkan Negara dengan segala atribut dan pengaturannya hingga saat ini.
Kemudian kata politeia berkembang menjadi maknanya menjadi fungsi polisi seperti yang ada sekarang. Sampai saat ini polisi di Italia di sebut politeia, yang di Perancis disebut La Police, di Inggris menyebutnya Police, Belanda Politie dan German Polizei. Indonesia mengikuti tradisi Belanda menyebutnya dengan kata Polisi atau Politie di eja dengan ejaan Indonesia. Di Malaysia mengikuti tradisi Inggris dengan ejaan melayu; Police.
Menurut  Kunarto, (1997) Sejarah kepolisian, tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh dan berkembangnya peradaban manusia. Setiap peradaban manusia yang memulai dan merasakan perlunya keamanan, ketentraman, dan ketertiban dalam mempertahankan kehidupannya, pada saat itulah sebenarnya fungsi polisi itu ada, tumbuh dan berkembang.
Fungsi polisi itu tumbuh dan berkembang semakin jelas manakala ancaman terhadap suatu kelompok semakin nyata. Ancaman itu tidak hanya berupa bahaya yang datang dari luar kelompok itu, tetapi juga berupa ancaman yang ada didalam kelompok itu sendiri maupun ancaman dari luar kelompoknya. Kehidupan akan senantiasa melahirkan pergulatan hebat, dimana manusia yang kuat pada kelompoknya selalu bertindak sebagai pimpinan untuk melawan musuh dan melindungi kelompok lainnya. Tindakan manusia kuat itulah wujud dari fungsi polisi yang paling sederhana.
Fenomena kejiwaan manusia ingin berkuasa misalnya, dapat berbenturan dengan keinginan yang sama dengan manusia yang lain. Manusia yang ingin berkuasa itu biasanya memiliki kekuatan yang relative lebih besar dari yang lain. Adanya kelemahan dari manusia anggota kelompok mengakibatkan ada pihak yang ditundukan dari pihak yang menundukan. Yang menimbulkan konflik-konflik yang tidak jarang, menimbulkan tindak kekerasan bahkan menimbulkan peristiwa saling membunuh, mencelakakan dan saling memfitnah.
Dialektika dari fenomena-fenomena kejiwaan yang melahirkan perbuatan dan tindak kekerasan itu, biasanya bermuara pada terwujudnya keselarasan. Untuk itu di perlukan pihak yang cukup kuat untuk mensintesakan segenap konflik, sehingga yang kuat melindungi yang lemah dan yang lemah mendukung yang kuat. Keadaan itu dimungkinkan hanya karena berperannya fungsi polisi dengan baik.
Aspek Sejarah Yang Membentuk Jati Diri Polri
Dalam literatur kepolisian Indonesia, polisi sebagai suatu lembaga telah mengakar di masyarakat diawali dengan pembentukan Barisan Bhayangkara oleh Patih Gajah Mada di kerajaan Majapahit guna memelihara dan mewujudkan keamanan dan ketentraman masyarakat, baik untuk menghadapi bahaya dari luar maupun dari dalam kerajaan. Harsya W. Bachtiar (1994) dalam bukunya “Ilmu Kepolisian: suatu cabang ilmu yang baru”, menjelaskan bahwa dalam bahasa Sansekerta, kata Bhayangkara berarti “yang menakutkan”. Pada masa Kerajaan Majapahit pemakaian kata Bhayangkara masih relevan dalam rangka menjaga keamanan kerajaan dari dalam dan serbuan dari luar kerajaan.
Meski sesungguhnya pengertian Bhayangkara  lebih tepat untuk  militer.  Namun karena kata Bhayangkara sudah melekat dan menjadi  makna yang tidak bisa dilepaskan dari Kepolisian kita, sejatinya Polri yang ada pada  era masyarakat yang demokratis, perlu melakukan reaktualisasi dan reposisi fungsi dan perannya dalam masyarakat yang demokratis. Abu Suud, (2008) Guru Besar Ilmu Sejarah dari UNNES, dalam tulisannya  juga mengkritisi mengapa tokoh Gajah Mada yang dijadikan simbolisasi  kepolisian Indonesia, sehingga patung kepalanya dipancangkan di halaman Mabes Polri di Kebayoran Baru Jakarta. Bagaimana  kaitan antara kepribadian maupun penampilan Gajah Mada di masa lampau dengan peranan polisi saat ini. Gajah Mada memang digambarkan sebagai tokoh pemersatu, dan berhasil memersatukan Nusantara, seperti yang sering dikemukakan dengan Sumpah Palapanya. Namun disayangkan dengan mengembangkan pola kepemimpinan yang otoriter.
Gajah Mada telah menerapkan pola kepemimpinan otoriter yang diajarkan oleh Kautilyarthasastra karya pendeta Budha bernama Chanakya yang hidup sekitar tahun 322 SM, di masa pemerintahan Chandragupta. Para ahli ilmu Negara, menyamakan buku Kautilyarthasastra dengan buku Il Principe karya Nicolo Macchiaveli, Pola kepemimpinan otoriter gaya Gajah Mada, tentu tidak relevan untuk diteladani dalam kepemimpinan Polri saat ini yang hidup dalam alam demokrasi, dan peran polisi sebagai pemersatu juga masih perlu mendapatkan legitimasi yang kuat dari masyarakat.
Konsep Diri  Polisi
Mead (1972)  mengemukakan bahwa: “konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil ekplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan refleksi dari dirinya“. Mengacu pada pendapat Mead tersebut, maka polisi bukanlah entitas pasif.  Polisi sebagai individu  memiliki kreatifitas, kesadaran dan pilihan yang menjadikannya unik satu sama lain. Identitas Polisi dibentuk, dipelihara, dimodifikasi atau dibentuk ulang oleh hubungan – hubungan sosial. Maka sesungguhnya identitas seorang Polisi merupakan hasil konstruksi mereka melalui proses sosial yang telah dilaluinya. Perubahan seorang dari warga biasa menjadi seorang polisi melahirkan sebuah perubahan yang pada diri (the self) dan perubahan paradigma, yang diterimanya sebagai pandangan dunianya  yang baru.        
Konsep diri  Penegak Hukum
Penegakan hukum adalah tugas pokok polisi sebagai profesi mulia, yang aplikasinya harus berkiblat pada asas legalitas, Undang-undang yang berlaku dan Hak Asasi Manusia. Atau dengan kata lain polisi harus bertindak secara profesional dan memegang kode etik secara ketat dan keras, sehingga tidak mudah terjerumus kepada spektrum yang dibenci  masyarakat. Atas nama hukum polisi diberikan kewenangan yang lebih besar. Bahkan, kewenangan ini tidak diberikan kepada lembaga mana pun untuk memaksa bahkan mengekang kebebasan bahkan mengekang hak asasi manusia. Antara lain menangkap, menahan, menggeledah, menyita, menyuruh berhenti, melarang orang meninggalkan tempat, memeriksa identitas orang tertentu.                                                                   
Pemberian kewenangan tersebut juga diiringi oleh, adanya norma-norma serta kode etik yang harus melandasi tindakan tersebut. Selain itu, penggunaan kewenangan tersebut juga memiliki konsekuensi hukum di belakangnya. Salah satunya adalah pra peradilan. Ketika polisi dihadapkan kepada penyalahgunaan kekuatan yang melekat pada dirinya maka dia harus menerima tuntutan disiplin, kode etik, maupun peradilan pidana sebagai wujud pertanggungjawaban atas penggunaan kekuatan tersebut. Dengan demikian penggunaan kekuatan tersebut ada batasan-batasan yang mengatur serta mengendalikan tindakan tersebut.
Konsep diri polisi sebagai penegak hukum, wajib mengacu kepada kode etik Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugasnya  dengan :
  1. Menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah;
  2. Tidak memihak;
  3. Tidak melakukan pertemuan di luar ruang pemeriksaan dengan pihak-pihak yang terkait dengan perkara;
  4. Tidak mempublikasikan nama terang tersangka dan saksi;
  5. Tidak mempublikasikan tatacara,  taktik dan teknik penyidikan;
  6. Tidak menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang dan sengaja menimbulkan rasa kecemasan,  kebimbangan dan ketergantungan pada pihak-pihak yang terkait dengan perkara;
  7. Menunjukkan penghargaan terhadap semua benda-benda yang berada dalam penguasaannya karena terkait dengan penyelesaian perkara;
  8. Menunjukkan penghargaan dan kerja sama dengan sesama pejabat Negara dalam sistem peradilan pidana;
  9. Dengan sikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan tentang perkembangan penanganan perkara yang ditanganinya kepada semua pihak yang terkait dengan perkara pidana yang dimaksud,  sehingga diperoleh kejelasan tentang penyelesaiannya.
Penggunaan kekuatan polisi juga sangat dipengaruhi oleh sistim ideologi yang berlaku dan dianut oleh suatu negara. Di negara yang menganut sistim ideologi politik otoritarian kekuatan polisi yang digunakan lebih bersifat  hegemoni kekuasaan dari pihak penguasa. Polisi hanya ditugaskan untuk menjadi penjaga status quo sehingga ketika ada orang atau kelompok tertentu yang melakukan protes akibat ketidakadilan yang dirasakan maka polisilah yang ditampilkan bak pemadam kebakaran untuk memadamkan api yang akan bergejolak. Namun, penggunaannya secara terarah dan terukur serta tetap kekuatan polisi tersebut dikontrol oleh norma dan aturan hukum yang ada. Penguasa pun tidak serta merta dapat menggunakan kekuatan polisi sekehendak hatinya. Hal menonjol yang membedakan kedua sistim ini adalah dari segi kontroling atau pengawasan terhadap penggunaan kekuatan polisi.
Konsep Diri  Pelayan Masyarakat
Seiring dengan penguatan masyarakat sipil, tuntutan ke arah perbaikan citra dan kinerja polisi sebagai pelayan masyarakat telah menjadi wacana publik di era reformasi. Posisi masyarakat sipil menjadi relatif kuat dalam penyaluran aspirasi dan menuntut hak-hak mereka atas pelayanan birokrasi kepolisian. Dalam konteks ini, polisi perlu lebih merevitalisasikan dirinya agar dapat menghasilkan kualitas layanan yang lebih baik. Keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat sebagai stakeholder dalam proses penentuan tindakan-tindakan kepolisian merupakan  upaya mewujudkan wajah polisi yang sipil dan demokratis.
Dalam konteks good governance, pelayanan publik merupakan gerbang utama reformasi birokrasi karena pelayanan publik adalah ruang dimana masyarakat dan aparatur negara berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Di sinilah pelayanan publik seharusnya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik karena akan terpantau secara transparan kebijakan, prosedur dan perilaku yang menyimpang.
Saat ini dilingkungan polisi sudah mulai tumbuh Paradigma pelayanan publik, dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven) dan prinsip kemudahan (accessible), desentralisasi urusan dan kewenangan serta melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung sebagai pengawas program tersebut. Dalam tataran manajerial organisasi polisi diharapkan mampu mengubah citra ‘’minta dilayani’’ itu menjadi ‘’memberi pelayanan’’. Konsep melayani merupakan tindakan proaktif dan preventif terhadap sumber, potensi dan kerawanan gejolak dalam masyarakat. Komitmen “Polisi Masyarakat” harusnya menempatkan masyarakat sebagai stake holder dalam memecahkan permasalahan.
Konsep diri polisi sebagai pelayan masyarakat juga harus dilandasi dan mengacu kepada kode etik Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, yang harus  senantiasa :
  1. Memberikan pelayanan terbaik;
  2. Menyelamatkan jiwa seseorang pada kesempatan pertama;
  3. Mengutamakan kemudahan dan tidak mempersulit;
  4. Bersikap hormat kepada siapapun dan tidak menunjukkan sikap congkak/arogan karena kekuasaan;
  5. Tidak membeda-bedakan cara pelayanan kepada semua orang;
  6. Tidak mengenal waktu istirahat selama 24 jam,  atau tidak mengenal hari libur;
  7. Tidak membebani biaya,  kecuali diatur dalam peraturan perundang-undangan;
  8. Tidak boleh menolak permintaan pertolongan bantuan dari masyarakat dengan alasan bukan wilayah hukumnya atau karena kekurangan alat dan orang;
  9. Tidak mengeluarkan kata-kata atau melakukan gerakan-gerakan anggota tubuhnya yang mengisyaratkan meminta imbalan atas batuan Polisi yang telah diberikan kepada masyarakat.
Kita layak berbangga dan memberikan apresiasi. Pasca-Reformasi, di tubuh Kepolisian Republik Indonesia sudah mulai tumbuh kesadaran akan pentingnya membangun hubungan yang terbaik dengan masyarakat, komitmen untuk mentransformasi identitas diri, dan upaya membangun citra polisi yang lebih baik. Dari yang semula cenderung sebagai pemburu kriminal, lebih ke konsep diri selaku pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat. Sejalan dengan pandangan Betz (2001), sesungguhnya hanya sekitar 10 persen dari seluruh pelaksanaan tugas kepolisian yang berkaitan dengan penegakan hukum, sedangkan 90 persen lainnya adalah digunakan oleh polisi untuk melayani masyarakat
Berdasarkan pandangan tersebut maka keberhasilan tugas kepolisian sesungguhnya sangat tergantung pada kemampuan polisi dalam membina hubungan yang baik dengan masyarakat. Idealnya polisi mampu menampilkan diri sebagai seorang komunikator, setidaknya memahami dasar-dasar komunikasi yang efektif, ketika berhubungan dengan masyarakat, hingga menjadi polisi yang dipercaya masyarakat. Studi Peter Ainsworth (1993) terhadap polisi Inggris yang menyatakan bahwa kunci keberhasilan mereka dalam bertugas adalah selera humor, keterampilan komunikasi, kemampuan adaptasi, logika awam, asertivitas, sensitivitas, toleransi, integritas, kemampuan baca tulis, kejujuran, dan kecekatan memecahkan masalah. Hasil studi Ainsworth tersebut kemudian memberi dasar bagi perlunya kurikulum berbasis komunikasi dalam pendidikan kepolisian. Keterampilan berkomunikasi merupakan salah satu faktor penting di balik suksesnya kerja kepolisian Inggris dalam membangun hubungan dengan masyarakat. Sekaligus mengindikasikan derajat kesantunan (civility) serta kepedulian polisi Inggris akan akuntabilitas publik.
Saat ini Institusi Polri, telah-tengah  berjuang untuk memperbaiki citra diri  dalam fungsi tugas utamanya sebagai pelayan masyarakat dan sebagai penegak hukum, dengan program Quick Wins. Pertama, Quick response, yaitu  mendatangi TKP dengan cepat. Kedua, perbaikan pelayanan SIM/ STNK/ BPKB  yang sudah ada layanan SIM keliling, SIM/ STNK masuk Mall, integrated payment. Ketiga adalah pelayanan Penyidikan secara transparan dan bisa dipantau. Keempat, atau yang terakhir adalah transparansi penerimaan siswa sekolah-sekolah Polri. Keempat isu itu merupakan refleksi kesungguhan upaya reformasi polisi untuk bisa dirasakan secara langsung oleh Masyarakat. Apalagi tahapan Trust Building dari Polri yang dimulai tahun 2005 harus selesai di 2010, untuk dilanjutkan dengan Panership di 2011-2015, dan akhirnya excellent setelah 2016.
Aktualitas di Masyarakat
Berdasarkan kajian IPW (Indonesian Police Wacth), tahun 2009. setidaknya terdapat delapan keluhan masyarakat yang ditujukan pada Polri. Kedelapan keluhan itu adalah :
  1. Polisi dianggap arogan,
  2. Masih terjadi diskriminasi,
  3. Melakukan korupsi melalui berbagai pungutan liar,
  4. Dinilai lamban dalam bertindak,
  5. Tidak tegas dalam menindak pelaku kejahatan, utamanya yang melibatkan pemegang kekuasaan,
  6. Kurang transparan,
  7. Tidak memiliki akuntabilitas,
  8. Dan terkesan militeristik.[1]
Sejak pemisahan kepolisian dari jajaran angkatan bersenjata, banyak pertanyaan menyangkut kesiapan lembaga tersebut mengubah diri. Pertanyaan ini muncul menyangkut agenda perubahan yang harus dilakukan Polri agar mampu bekerja sesuai dengan tantangan barunya. Beban di pundak Polri ternyata tidak ringan. Di satu sisi, belum semua anggota Polri siap menjalankan peran dan visinya yang baru berkaitan dengan sikap mental dan budaya institusi yang memerlukan proses dan waktu untuk berubah. Di sisi lain, masyarakat tidak sabar  melihat kinerja Polri yang masih belum banyak berubah dari pola dan cara lama. Tantangan ini menuntut polisi untuk benar-benar memiliki nilai-nilai integritas (integrity), kewajaran (fairness), dan respek (recpect) pada konstitusi dan otoritas pemerintahan, jujur (honesty), berani (courage), dan welas asih (compassion), agar polisi dapat bersikap arif dan bijaksana dalam merespons setiap situasi dan kondisi yang berbeda.
Polisi amat dibutuhkan, terutama saat instabilitas, kriminalitas, dan kekerasan komunal kian merebak. Masalahnya, mengapa polisi yang dirindu juga sekaligus dibenci ?.  Dalam pandangan Robert Bala, “Membangun sebuah image positif bukanlah hal mudah. Ia memerlukan proses perjuangan yang melelahkan. Aneka elemen konstitutif sebagai core values diciptakan untuk menyatukan perjuangan, menggugah keteladanan internal, dan menuai dukungan eksternal masyarakat. Masalahnya, mengapa harapan itu tidak mudah terwujud? Atas pertanyaan ini, Robert Bala, mengutip pendapat Saturla J dalam Vulnerabilidad, Dignidad  Justicia: Valores éticos Fundamentales en un Mundo Globalizado, membuka rahasianya. “Ia mudah sirna karena kebijakan dalam bentuk aturan yang seharusnya dibuat secara bijak sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur dibuat seadanya. Akibatnya, pribadi yang terbentuk tidak utuh. Hal2 internal yang lahir sebagai kebajikan diri menjadi langka”. [2]
Tulisan Putu Setia, tentang polisi, memberi pesan kepada kita  masyarakat tampaknya perlu merenungkan kisah menarik drama George Bernard Shaw, berjudul Pygmalion. Mengisahkan seorang gadis udik-miskin penjual bunga, bernama Eliza Doolittle, yang akhirnya “berubah” (bertransformasi) menjadi seorang “putri”. Selanjutnya, dalam film musikal My Fair Lady, Eliza merefleksikan konsep transformasi itu dalam kalimat-kalimatnya, “Yang membedakan gadis penjual bunga dengan seorang putri, bukan terletak pada perilakunya, tetapi pada bagaimana dia diperlakukan”. Kepada Profesor Higgins, saya akan berlaku sebagai gadis udik penjual bunga sebab dia memperlakukan saya seperti itu. Tetapi kepada Anda, Kolonel Pickering, saya yakin bisa menjadi seorang putri,sebab Anda memperlakukan saya sbg seorang putri.” [3]
Itulah yang dimaksud dengan konsep atau efek Pygmalion, yang berarti; sikap seseorang terhadap orang lain, termasuk bagaimana atau cara menyikapi, mengharapkan, yang akan menjadi kekuatan, pengaruh yang hebat dalam mengubah atau membentuk orang lain. Efek Pygmalion ini mengejahwantah menjadi self fulfilling prophecy, (sebuah harapan yang terpenuhi dengan sendirinya), yang tercermin dalam kalimat-kalimat Eliza Doolittle. Sepertinya kita perlu mengubah sikap dan harapan, kita perlu melahirkan efek Pygmalion dalam menyikapi “polisi kita”. Dengan sikap yang dilandasi efek Pygmalion itulah, kita boleh menunggu lahirnya self fulfilling prophecy dari polisi untuk jauh lebih professional dalam bekerja. [4]
Sikap serba prasangka hanya bisa dilawan dengan “sikap Pygmalion” mencoba efek Pygmalion, yang nantinya akan menentukan: apakah polisi kita jadi “orang yang dibenci” atau “seorang yang dimuliakan” Tentu diperlukan transformasi dalam bersikap dan bekerja dari polisi sendiri. Perlu tekad kerja keras dari polisi, untuk menuju sikap kerja serba “esensi”. Artinya, berorientasi kerja lebih hakiki dengan melandaskan diri pada KEBENARAN baik itu data, fakta, informasi. yang harus menjadi alat yang melandasi proses analisa dan pengambilan keputusan tentang “kebenaran dan keadilan” Transformasi sikap dari kedua pihak inilah yang nantinya akan bertemu di titik simpul sinergi “kemitraan polisi-rakyat”.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa praktik-praktik perpolisian di Indonesia hingga saat, masih cenderung mengisolasikan aparat kepolisian dari masyarakat yang dilayaninya yang tentunya berdampak pada kinerja kepolisian untuk melakukan pengendalian kejahatan yang lebih efisien. Oleh karena itu, penerapan community policing sangat dibutuhkan untuk memberikan ruang bagi para aparat penegak hukum tersebut untuk memperbaiki kembali hubungannya dengan warga masyarakat yang merupakan mitra utamanya. Kemitraan adalah salah satu wujud nyata komunikasi sehingga kedua belah pihak, terlebih pihak kepolisian sebagai pihak yang paling berperan dalam mewujudkan kemitraan yang memberi nilai tambah perlu menerapkan strategi komunikasi yang tepat.
Hal ini sejalan dengan hasil Pusat Penelitian Hak Asasi Manusia UII Yogyakarta (2001) yang meneliti kemitraan polisi dan masyarakat pasca reformasi, yang menampung semua pendapat masyarakat mengenai polisi dan apa komentar polisi tentang masyarakat. Hasilnya sangat memprihatinkan, dua belah pihak saling menebar rasa kekecewaan dan malas untuk memercayai satu sama lain. Masyarakat lebih memilih bertindak pragmatis dalam berhubungan dengan polisi dan polisi juga menilai masyarakat terlalu banyak menuntut kepadanya.
Di tengah-tengah hubungan polisi masyarakat yang fluktuatif, terkadang membara, ada baiknya kita mengenang almarhum Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso, yang memaknai jati dirinya sebagai polisi dan perannya di tengah masyarakat. Hoegeng memaknai seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal polisi. Tentu saja yang terakhir memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang lebih besar. “Hakikat seorang polisi demikianlah, yang membuat saya mencintai tugas kepolisian dan bangga sebagai polisi, tanpa membedakan kedudukan dan pangkat!” Hoegeng membuktikannya dengan tidak pernah merasa malu turun tangan mengambil alih tugas teknis seorang agen polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat. Misalnya jika di suatu perempatan jalan terjadi kemacetan lalu lintas, kadang kala dengan baju dinas Kapolri, beliau menjalankan tugas seorang polisi lalu lintas di jalan raya. “Saya melakukan dengan ikhlas. Sekaligus memberikan contoh teladan tentang motivasi dan kecintaan polisi akan tugasnya, sekaligus memberikan teguran dan peringatan secara halus kepada bawahan yang lalai atau malas!” Dalam persepsinya tentang kehormatan, kewajiban, dan tanggung jawab polisi, maka keinginannya yang pertama adalah memulai menegakkan citra ideal seorang polisi dari diri sendiri. Berbarengan dengan itu menaikkan pula citra seorang komandan polisi yang baik.         Seiring bertambahnya usia, dan terjadinya proses dialektika antara polisi dan masyarakat. Masyarakat berharap Polri, senantiasa mengubah jati dirinya menjadi polisi yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.  Polri bermetamorfosis menjadi sosok polisi yang dipercaya, dicintai  dan professional dalam melaksanakan tugasnya. Dan masyarakat harus meresponya dengan sikap positif, namun tetap kritis, suportif dan proposional dalam menyikapi  reformasi yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian kita. Wajah polisi adalah wajah kita semua, karena polisi lahir dari masyarakat dan berkarya di tengah masyarakat.
Sejatinya, Polisi dan masyarakat selalu berada dalam satu kuadran, dengan dua kondisi dan dua penyikapan yang berlawanan: baik atau buruk. Polisi dan masyarakat yang baik adalah polisi dan masyarakat yang  bersikap baik dalam kondisi ( sosial, emosional, finansial, dll.) yang baik. Polisi dan masyarakat yang buruk adalah polisi dan masyarakat yang bersikap buruk dalam kondisi yang buruk. Polisi dan masyarakat yang paling buruk, adalah polisi-masyarakat yang selalu bersikap buruk dalam kondisi yang baik. Polisi dan masyarakat yang paling baik dan ideal adalah polisi-masyarakat yang sanggup bersikap baik, sekalipun dalam kondisi buruk.
*Penulis adalah Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Unmuha *


[1] Harian Umum Pikiran Rakyat, 1 Juli 2009
[2] Harian Umum Kompas, 1 Juli 2009
[3] Harian Umum Kompas, 17/11/2002
[4] Harian Umum Kompas, 17/11/2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar