Minggu, 28 April 2013

Merajut Kemitraan yang Tulus Antara Polisi dan Masyarakat


Oleh : Dr. Eki Baihaki, M.Si
“A good policeman who extends and that develops two virtues, intellectually, he has to grasp the nature of human suffering. Morally, he has to resolve contradiction of  achieving just ends coersive means.” (Kenneth Muir dalam bukunya Police, Streetcorner Politicians’)
Eksistensi dari institusi kepolisian  hingga saat ini sudah memasuki usianya yang ke-66, beragam masalah masih menghadang di tengah panasnya dinamika politik nasional. Berkembangnya berbagai bentuk pembangkangan sosial bahkan perlawanan terhadap aparat hukum, sebagai ekses dari lunturnya kepercayaan terhadap kerja sistem hukum dan tentu Polri di dalamnya.
Di tengah tantangan tugas yang semakin kompleks, mewujudkan partisipasi masyarakat dalam bidang kamtibmas adalah langkah solutif di tengah kondisi bangsa yang memprihatinkan dalam berbagai aspek. Partisipasi masyarakat diperlukan mengingat employee rate Polri saat ini jauh dari kondisi ideal yaitu sekitar 1: 1.200, sedangkan kondisi ideal menurut UNDP adalah 1 : 400. Maka kunci sukses upaya mewujudkan partisipasi masyarakat terutama sense of participation hanya dapat diwujudkan bila mitra untuk partisipasi ini, khususnya polisi sudah “bisa dipercaya” (trustable), kredibilitasnya terjaga, dan profesional dalam melaksanakan tugasnya.
Polisi yang dipercaya adalah tangga awal untuk merebut hati masyarakat. Hubungan antara polisi dan masyarakat sering diibaratkan sebagai ikan dan air. Ikan jelas tidak bisa hidup tanpa air, demikian pula polisi tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik tanpa dukungan masyarakat. Dengan demikian, memperoleh dukungan yang ikhlas dari masyarakat menjadi sangat penting untuk kelancaran tugas, sesuai dengan yang diamanatkan doktrin polisi mutakhir shaking hands with the entire community (Satjipto Rahardjo, 1999) bergandengan tangan dengan seluruh komponen strategis masyarakatât.
Hati masyarakat hanya bisa direngkuh jika Polisi memahami karakter masyarakat, menaruh simpati dan empati yang tinggi terhadap penderitaan masyarakat, serta betul-betul menempatkan diri sebagai pengayom dan pelayan masyarakat. Polisi ada untuk menjaga keamanan masyarakat secara umum.
Reformasi yang belum tuntas
Meski sudah 13 tahun berjalan, reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) belum memberikan hasil yang optimal. Terbukti, untuk kesekian kalinya, Polri kembali masih mendapatkan sorotan tajam atas berbagai kinerjanya. Reformasi struktural dan instrumental sudah berjalan dengan baik, dan yang paling sulit dan perlu waktu lama adalah reformasi dalam aspek kultural.
Agenda penting dalam mewujudkan polisi sipil yang profesional adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Polri, karena sarana dan prasaran lainnya, akan tidak berarti jika tidak didukung oleh kualitas SDM.                                                                                
Upaya mewujudkan polisi sipil yang profesional, bukanlah hal yang mudah dan dapat dengan segera diwujudkan, apalagi kalau dikaitkan dengan tantangan terhadap perkembangan dinamika lingkungan strategis yang semakin kompleks. Yang menuntut Polri untuk memiliki kepekaan (sensitivitas ) dan upaya antisipasi proaktif serta mengembangkan model pemolisian yang berpihak kepada masyarakat (protogonis ) berorentasi pada pemecahan masalah-masalah masyarakat dengan berbasis pada kedekatan pada masyarakat yang lebih manusiawi.
Dalam pandangan Betz, sesungguhnya hanya sekitar 10 persen dari seluruh pelaksanaan tugas kepolisian yang berkaitan dengan penegakan hukum, sedangkan 90 persen lainnya adalah digunakan oleh polisi untuk melayani masyarakat. Berdasarkan pandangan tersebut maka keberhasilan tugas kepolisian sesungguhnya sangat bergantung pada kemampuan polisi dalam membina hubungan yang baik dengan masyarakat. Idealnya polisi mampu menampilkan diri sebagai seorang komunikator, setidaknya memahami dasar-dasar komunikasi yang efektif, ketika berhubungan dengan masyarakat.
Studi Peter Ainsworth (1993) terhadap polisi Inggris yang menyatakan bahwa kunci keberhasilan mereka dalam bertugas adalah selera humor, keterampilan komunikasi, kemampuan adaptasi, logika awam, asertivitas, sensitivitas, toleransi, integritas, kemampuan baca tulis, kejujuran, dan kecekatan memecahkan masalah
Hasil studi Ainsworth tersebut kemudian memberi dasar bagi perlunya kurikulum berbasis komunikasi dalam pendidikan kepolisian.Keterampilan berkomunikasi merupakan salah satu faktor penting di balik suksesnya kerja polisi Inggris dalam membangun hubungan dengan masyarakat. Sekaligus mengindikasikan derajat kesantunan (civility) serta kepedulian polisi Inggris akan akuntabilitas publik.
Kesadaran (awareness) akan hubungan antarmanusia menjadi sesuatu yang penting. Bull dkk. (1985) membuktikan, aparat polisi yang memiliki kesadaran tinggi akan hal itu lebih mampu berinteraksi secara harmonis dengan publik. Keluhan masyarakat pun menurun. Manfaat susulannya adalah kualitas relasi polisi-masyarakat akan meningkat.
Best Practice : Reformasi Kepolisian Mexico
Berbekal adanya kemauan politik yang kuat dari  Presiden Mexico, Filipe Calderon  untuk membersihkan kepolisian Mexico yang carut marut. Presiden Mexico kemudian menugaskan seorang sarjana teknik, Garcia Luna untuk mereformasi kepolisian. Di tengah keraguan banyak pihak mengenai kemampuannya, Garcia pun lantas memberhentikan 284 pejabat tinggi kepolisian. Di saat yang bersamaan dia mempromosikan 1.600 perwira dan merekrut personel kepolisian baru hingga 3.000 orang.
Perekrutan anggota kepolisian baru itu pun tidak dilakukan sembarangan. Untuk menjaring kader terbaik, Garcia turun ke perguruan tinggi-perguruan tinggi. Maka direkrutlah sarjana-sarjana yang merupakan lulusan terbaik untuk bertugas di lembaga kepolisian. Untuk menarik minat pemuda-pemuda yang cerdas dan masih memiliki integritas itu, Garcia menaikkan standar gaji di kepolisian hingga dua kali lipat.
Bersamaan dengan itu, Garcia mengembalikan anggota kepolisian yang masih bertugas ke bangku pendidikan. Mereka yang mengikuti pendidikan ini diharuskan melewati uji verifikasi dan standar profesi yang ketat jika ingin kembali bertugas di kepolisian. Menurut Garcia korupsi di lembaga penegak hukum akan mendorong evolusi kejahatan dan berbagai tindakan kriminal lainnya.
Rumus lain yang dikembangkan Garcia adalah mengubah paradigma kekuatan senjata dengan kekuatan teknologi. Pistol bagi aparat kepolisian adalah komputer, demikian slogan yang didengungkan. Maka, selanjutnya deretan polisi berseragam lengkap yang tekun duduk di depan komputer menjadi pemandangan biasa di gedung kepolisian.
Komputer-komputer itu terhubung dengan pusat data nasional. Sementara di tengah ruangan terpasang layar besar yang menerima gambar dari kamera-kamera yang berada di berbagai penjuru kota. Jaringan data ini dengan mudah dan cepat memberikan data para tersangka pelaku kejahatan dari berbagai kota di Mexico.
Gebrakan ala Garcia ini pun akhirnya berhasil mengubah wajah kepolisian Mexico yang sebelumnya coreng moreng akibat perilaku korup anggota menjadi lembaga yang disebut-sebut sebagai kepolisian abad-21.
Meneladani Hoegeng Imam Santoso
Di tengah-tengah hubungan polisi masyarakat yang fluktuatif, terkadang membara, ada baiknya kita mengenang almarhum Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso, yang memaknai jati dirinya sebagai polisi dan perannya di tengah masyarakat. Hoegeng memaknai seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal polisi. Tentu saja yang terakhir memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang lebih besar. “Hakikat seorang polisi demikianlah, yang membuat saya mencintai tugas kepolisian dan bangga sebagai polisi, tanpa membedakan kedudukan dan pangkat!”
Hoegeng membuktikannya dengan tidak pernah merasa malu turun tangan mengambil alih tugas teknis seorang agen polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat. Misalnya jika di suatu perempatan jalan terjadi kemacetan lalu lintas, kadang kala dengan baju dinas kapolri, beliau menjalankan tugas seorang polisi lalu lintas di jalan raya. “Saya melakukan dengan ikhlas. Sekaligus memberikan contoh teladan tentang motivasi dan kecintaan polisi akan tugasnya, sekaligus memberikan teguran dan peringatan secara halus kepada bawahan yang lalai atau malas!”
Dalam persepsinya tentang kehormatan, kewajiban, dan tanggung jawab polisi, maka keinginannya yang pertama adalah memulai menegakkan citra ideal seorang polisi dari diri sendiri. Berbarengan dengan itu menaikkan pula citra seorang komandan polisi yang baik. Kenneth Muir, memberi pesan dalam bukunya Police, Streetcorner Politicians. bahwa  ”seorang polisi yang baik harus mengembangkan dua  nilai kebajikan dalam dirinya, yaitu dalam dimensi intelektual dengan memahami penderitaan manusia dan menyelesaikan masalah tidak memaknainya hanya dengan kekerasan.
Penulis: Dosen FISIP Unla, menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
*Makalah dalam Diskusi Panel, Program Studi D3 Kepolisian bekerjasama dengan  Pusat Kajian Kemitraan Polisi Dan Masyarakat FISIP UNLA dan Asosiasi Dosen UNLA pada hari Jumat, 7 September 2012.
http://fisip.unla.ac.id/wp-content/themes/DreamStyle/images/folder.pngPosted in Artikel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar