“A good policeman who extends and that develops two
virtues, intellectually, he has to grasp the nature of human suffering.
Morally, he has to resolve contradiction of achieving just ends coersive
means.” (Kenneth Muir dalam bukunya Police, Streetcorner Politicians’)
Eksistensi dari institusi kepolisian hingga saat
ini sudah memasuki usianya yang ke-66, beragam masalah masih menghadang di
tengah panasnya dinamika politik nasional. Berkembangnya berbagai bentuk
pembangkangan sosial bahkan perlawanan terhadap aparat hukum, sebagai ekses
dari lunturnya kepercayaan terhadap kerja sistem hukum dan tentu Polri di
dalamnya.
Polisi yang dipercaya adalah tangga awal untuk merebut
hati masyarakat. Hubungan antara polisi dan masyarakat sering diibaratkan
sebagai ikan dan air. Ikan jelas tidak bisa hidup tanpa air, demikian pula
polisi tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik tanpa dukungan
masyarakat. Dengan demikian, memperoleh dukungan yang ikhlas dari masyarakat
menjadi sangat penting untuk kelancaran tugas, sesuai dengan yang diamanatkan
doktrin polisi mutakhir shaking hands with the entire community
(Satjipto Rahardjo, 1999) bergandengan tangan dengan seluruh komponen strategis
masyarakatât.
Hati masyarakat hanya bisa direngkuh jika Polisi
memahami karakter masyarakat, menaruh simpati dan empati yang tinggi terhadap
penderitaan masyarakat, serta betul-betul menempatkan diri sebagai pengayom dan
pelayan masyarakat. Polisi ada untuk menjaga keamanan masyarakat secara umum.
Reformasi yang belum tuntas
Meski sudah 13 tahun berjalan, reformasi di tubuh
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) belum memberikan hasil yang optimal.
Terbukti, untuk kesekian kalinya, Polri kembali masih mendapatkan sorotan tajam
atas berbagai kinerjanya. Reformasi struktural dan instrumental sudah berjalan
dengan baik, dan yang paling sulit dan perlu waktu lama adalah reformasi dalam
aspek kultural.
Agenda penting dalam mewujudkan polisi sipil yang
profesional adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Polri,
karena sarana dan prasaran lainnya, akan tidak berarti jika tidak didukung oleh
kualitas SDM.
Upaya mewujudkan polisi sipil yang profesional,
bukanlah hal yang mudah dan dapat dengan segera diwujudkan, apalagi kalau
dikaitkan dengan tantangan terhadap perkembangan dinamika lingkungan strategis
yang semakin kompleks. Yang menuntut Polri untuk memiliki kepekaan (sensitivitas
) dan upaya antisipasi proaktif serta mengembangkan model pemolisian yang
berpihak kepada masyarakat (protogonis ) berorentasi pada pemecahan
masalah-masalah masyarakat dengan berbasis pada kedekatan pada masyarakat yang
lebih manusiawi.
Dalam pandangan Betz, sesungguhnya hanya sekitar 10
persen dari seluruh pelaksanaan tugas kepolisian yang berkaitan dengan
penegakan hukum, sedangkan 90 persen lainnya adalah digunakan oleh polisi untuk
melayani masyarakat. Berdasarkan pandangan tersebut maka keberhasilan tugas
kepolisian sesungguhnya sangat bergantung pada kemampuan polisi dalam membina
hubungan yang baik dengan masyarakat. Idealnya polisi mampu menampilkan diri
sebagai seorang komunikator, setidaknya memahami dasar-dasar komunikasi yang
efektif, ketika berhubungan dengan masyarakat.
Studi Peter Ainsworth (1993) terhadap polisi Inggris
yang menyatakan bahwa kunci keberhasilan mereka dalam bertugas adalah selera
humor, keterampilan komunikasi, kemampuan adaptasi, logika awam, asertivitas,
sensitivitas, toleransi, integritas, kemampuan baca tulis, kejujuran, dan
kecekatan memecahkan masalah
Hasil studi Ainsworth tersebut kemudian memberi dasar
bagi perlunya kurikulum berbasis komunikasi dalam pendidikan
kepolisian.Keterampilan berkomunikasi merupakan salah satu faktor penting di
balik suksesnya kerja polisi Inggris dalam membangun hubungan dengan
masyarakat. Sekaligus mengindikasikan derajat kesantunan (civility) serta
kepedulian polisi Inggris akan akuntabilitas publik.
Kesadaran (awareness) akan hubungan antarmanusia
menjadi sesuatu yang penting. Bull dkk. (1985) membuktikan, aparat polisi yang
memiliki kesadaran tinggi akan hal itu lebih mampu berinteraksi secara harmonis
dengan publik. Keluhan masyarakat pun menurun. Manfaat susulannya adalah
kualitas relasi polisi-masyarakat akan meningkat.
Best Practice : Reformasi Kepolisian Mexico
Berbekal adanya kemauan politik yang kuat dari
Presiden Mexico, Filipe Calderon untuk membersihkan kepolisian
Mexico yang carut marut. Presiden Mexico kemudian menugaskan seorang sarjana
teknik, Garcia Luna untuk mereformasi kepolisian. Di tengah keraguan banyak
pihak mengenai kemampuannya, Garcia pun lantas memberhentikan 284 pejabat
tinggi kepolisian. Di saat yang bersamaan dia mempromosikan 1.600 perwira dan
merekrut personel kepolisian baru hingga 3.000 orang.
Perekrutan anggota kepolisian baru itu pun tidak
dilakukan sembarangan. Untuk menjaring kader terbaik, Garcia turun ke perguruan
tinggi-perguruan tinggi. Maka direkrutlah sarjana-sarjana yang merupakan
lulusan terbaik untuk bertugas di lembaga kepolisian. Untuk menarik minat
pemuda-pemuda yang cerdas dan masih memiliki integritas itu, Garcia menaikkan
standar gaji di kepolisian hingga dua kali lipat.
Bersamaan dengan itu, Garcia mengembalikan anggota
kepolisian yang masih bertugas ke bangku pendidikan. Mereka yang mengikuti
pendidikan ini diharuskan melewati uji verifikasi dan standar profesi yang
ketat jika ingin kembali bertugas di kepolisian. Menurut Garcia korupsi di
lembaga penegak hukum akan mendorong evolusi kejahatan dan berbagai tindakan
kriminal lainnya.
Rumus lain yang dikembangkan Garcia adalah mengubah
paradigma kekuatan senjata dengan kekuatan teknologi. Pistol bagi aparat
kepolisian adalah komputer, demikian slogan yang didengungkan. Maka,
selanjutnya deretan polisi berseragam lengkap yang tekun duduk di depan
komputer menjadi pemandangan biasa di gedung kepolisian.
Komputer-komputer itu terhubung dengan pusat data
nasional. Sementara di tengah ruangan terpasang layar besar yang menerima
gambar dari kamera-kamera yang berada di berbagai penjuru kota. Jaringan data
ini dengan mudah dan cepat memberikan data para tersangka pelaku kejahatan dari
berbagai kota di Mexico.
Gebrakan ala Garcia ini pun akhirnya berhasil mengubah
wajah kepolisian Mexico yang sebelumnya coreng moreng akibat perilaku korup
anggota menjadi lembaga yang disebut-sebut sebagai kepolisian abad-21.
Meneladani Hoegeng Imam Santoso
Di tengah-tengah hubungan polisi masyarakat yang
fluktuatif, terkadang membara, ada baiknya kita mengenang almarhum Kapolri
Jenderal Hoegeng Imam Santoso, yang memaknai jati dirinya sebagai polisi dan
perannya di tengah masyarakat. Hoegeng memaknai seorang agen polisi sama saja
dengan seorang jenderal polisi. Tentu saja yang terakhir memiliki kewajiban dan
tanggung jawab yang lebih besar. “Hakikat seorang polisi demikianlah, yang
membuat saya mencintai tugas kepolisian dan bangga sebagai polisi, tanpa
membedakan kedudukan dan pangkat!”
Hoegeng membuktikannya dengan tidak pernah merasa malu
turun tangan mengambil alih tugas teknis seorang agen polisi yang kebetulan
sedang tidak ada atau tidak di tempat. Misalnya jika di suatu perempatan jalan
terjadi kemacetan lalu lintas, kadang kala dengan baju dinas kapolri, beliau
menjalankan tugas seorang polisi lalu lintas di jalan raya. “Saya melakukan
dengan ikhlas. Sekaligus memberikan contoh teladan tentang motivasi dan
kecintaan polisi akan tugasnya, sekaligus memberikan teguran dan peringatan
secara halus kepada bawahan yang lalai atau malas!”
Dalam persepsinya tentang kehormatan, kewajiban, dan
tanggung jawab polisi, maka keinginannya yang pertama adalah memulai menegakkan
citra ideal seorang polisi dari diri sendiri. Berbarengan dengan itu menaikkan
pula citra seorang komandan polisi yang baik. Kenneth Muir, memberi pesan dalam
bukunya Police, Streetcorner Politicians. bahwa ”seorang polisi
yang baik harus mengembangkan dua nilai kebajikan dalam dirinya, yaitu
dalam dimensi intelektual dengan memahami penderitaan manusia dan menyelesaikan
masalah tidak memaknainya hanya dengan kekerasan.
Penulis: Dosen FISIP Unla, menjabat sebagai Ketua
Program Studi Ilmu Komunikasi
*Makalah dalam Diskusi Panel, Program Studi D3
Kepolisian bekerjasama dengan Pusat Kajian Kemitraan Polisi Dan
Masyarakat FISIP UNLA dan Asosiasi Dosen UNLA pada hari Jumat, 7 September
2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar