Ditulis oleh Dra. Yeni Huriyani, M.Hum
Rabu, 18 Agustus 2010 10:47
AbstrakUndang-Undang
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT) No. 23
tahun 2004 membuat jengah sebagian orang, karena dianggap menyeret
persoalan privat ke ranah publik. Tidak dapat dimungkiri, bahwa masalah domestic violence
bagi sebagian masyarakat kita masih dipandang sebagai “tabu” internal
keluarga, yang karenanya tidak layak diungkap ke muka umum. Maka tidak
heran, meski UU ini sudah berlaku lebih dari tiga tahun, kasus yang
secara resmi ditangani masih bisa dihitung jari. Terlepas dari
perdebatan yang melingkupinya, UU ini diharapkan menjadi alat yang mampu
menghentikan budaya kekerasan yang ada di masyarakat, justru dari akar
agen pengubah kebudayaan, yaitu keluarga. Perempuan sebagai pendidik
pertama dan utama dalam keluarga, diharapkan mampu mengembangkan
nilai-nilai kasih sayang, kesetaraan dan kesederajatan, keperdulian satu
sama lain, sehingga mampu menyingkirkan pola-pola tindakan agresif dari
anak-anak dan remaja. Karena pada saatnya, tradisi kekerasan yang
diwarisi dari pola pengasuhan dalam keluarga ini, akan berhadapan dengan
persoalan hukum negara jika tetap dipelihara.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tiba-tiba saja menjadi perbincangan hangat masyarakat Indonesia pada tiga tahun terakhir ini, Utamanya setelah rancangan undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga disahkan menjadi UU-RI no. 23 tahun 2004. Wacana ini sebenarnya bukan hal yang asing bagi para aktivis dan pemerhati masalah perempuan, karena masalah domestic violence telah mengemuka seiring dengan munculnya concern terhadap masalah perempuan.
PendahuluanIstilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt), atau tertutup (covert), baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang disertai oleh penggunaan kekuatan kepada orang lain. UU no. 23 tahun 2004, mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Ps. 1:1).
Memang tidak ada definisi tunggal dan
jelas yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun
demikian, biasanya kekerasan dalam rumah tangga secara mendasar,
meliputi (a) kekerasan fisik, yaitu setiap perbuatan yang menyebabkan kematian, (b) kekerasan psikologis,
yaitu setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan,
kehilanagan rasa percaya diri,hilangnya kemampuan untuk bertindak dan
rasa tidak berdaya pada perempuan, (c) kekerasan seksual,
yaitu stiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada
memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan
korban atau disaat korban tidak menghendaki; dan atau melakukan hubungan
seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban;
dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya, (d) kekerasan ekonomi,
yaitu setiap perbuatan yang membatasi orang (perempuan) untuk bekerja
di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang;
atau membiarkan korban bekerja untuk di eksploitasi; atau menelantarkan
anggota keluarga.[1]
Mengapa perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan?Perempuan hampir selalu menjadi korban kekerasan karena budaya dan nilai-nilai masyarakat kita dibentuk oleh kekuatan patriarkal[2], dimana laki-laki secara kultural telah dipersilahkan menjadi penentu kehidupan. Menurut Foucault[3],
laki-laki telah terbentuk menjadi pemilik ‘kuasa’ yang menentukan arah
‘wacana pengetahuan’ masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan secara
garis besar (pada umumnya) terjadi melalui konsep adanya control atas
diri perempuan, baik terhadap pribadinya, kelembagaan, simbolik dan
materi. Dengan demikian, ketika hubungan antar jenis kelamin dikonstruk
melalui hubungan dominasi-subordinasi, maka perempuan berposisi sebagai
pihak yang diatur oleh laki-laki. Bangunan relasi ini bekerja melalui
seluruh system social tadi yang kemudian melahirkan identitas jender[4] yang membedakan laki-laki dan perempuan.
Secara sosio-kultural, hubungan laki-laki
– perempuan (relasi jender) di Indonesia secara kompleks terbangun
melalui beberapa alasan, antara lain:
- laki-laki secara fisik lebih kuat dari pada perempuan dan ada kemungkinan tingkat agresivitas yang tinggi memiliki dasar biologis pula. Dalam masyarakat laki-laki juga dibiasakan untuk melatih menggunakan fisiknya sekaligus berkelahi, menggunakan senjata dan menggunakan intimidasi kekuatan sejak masa kanak-kanak.
- dalam masyarakat ada tradisi panjang mengenai dominasi laki-laki terhadap perempuan, dan toleransi penggunaan kekuatan oleh laki-laki. Tradisi tersebut tertampilkan melalui film, pornografi, musik rok, dan media pada umumnya.
- realitas ekonomi memaksa perempuan untuk menerima penganiayaan dari orang pada siapa dia bergantung.
- pada tingkat individual, factor psikologis berinteraksi dengan hal-hal yang disebutkan di atas, untuk menjelaskan bahwa sebagian laki-laki melakukan kekerasan dan sebagian perempuan menjadi korban kekerasan; sementara sebagian laki-laki lain tidak melakukan kekerasan tersaebut dan sebagian perempuan juga tidak menjadi sasaran kekerasan.
- pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kekuatan dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki dalam arti perbedaan yang dipersepsikan sebagai hak dan kemampuan untuk melakukan pengendalian terhadap satu sama lain.[5]
Maka ketika relasi kuasa tidak seimbang,
kekerasan dan ketidakadilan menjadi suatu kemungkinan yang sangat besar
muncul. Tetapi dalam kasus tertentu, bisa jadi kenyataan itu terbalik,
dan laki-lakilah yang menjadi korban.
Melacak Munculnya Kekerasan DomestikSecara
biologis, jenis kelamin laki-laki dan perempuan berbeda. Perempuan
mempunyai rahim, mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, dan lain
sebagainya. Sifat nature perempuan ini mempunyai hubungan timbal balik dengan alam, karena sifatnya yang produktif dan kreatif.[6]
Perempuan merupakan produsen sistem kehidupan yang baru. Adapun,
laki-laki identik dengan yang mengeksploitasi alam. Kekuatannya
diarahkan untuk menguasai dan menaklukkan alam sesuai dengan keinginan
dan kepentingannya. Hal ini menyebabkan relasi kuasa dan eksploitasi
antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan subordinasi perempuan.
Masyarakat dan budaya mengkonstruksi perbedaan hubungan antara
laki-laki dan perempuan tersebut untuk membedakan peran dan tugasnya.
Berdasarkan struktur biologisnya, laki-laki diuntungkan dan mendominasi
perempuan.
Perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh adanya perbedaan biologis atau jenis kelamin. Teori nurture melihat
perbedaan tersebut sebagai hasil konstruksi budaya dan masyarakat yang
menempatkan laki-laki lebih unggul dari perempuan.[7]
Kelemahan struktur biologis perempuan menempatkannya pada posisi yang
marginal dalam masyarakat. Perempuan dianggap tidak memiliki kekuatan
fisik, lemah, emosional, sehingga hanya berhak mengerjakan pekerjaan
yang halus, seperti pekerjaan rumah, mengasuh anak, dan lain-lain.
Relasi sosial dilakukan atas dasar ukuran laki-laki. Perempuan tidak
berhak melakukan hubungan tersebut. Dengan perbedaan semacam ini,
perempuan selalu tertinggal dalam peran dan kontribusinya dalam hidup
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konstruksi sosial
menempatkan perempuan dan laki-laki dalam nilai sosial yang berbeda.
Konstruksi jender dalam masyarakat itu
telah terbangun selama berabad-abad membentuk sebuah budaya yang
diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Teori pembelajaran sosial (Social Learning Theory)
menjelaskan bahwa kita belajar banyak tentang tingkah laku kita dalam
konteks interaksi dengan orang lain. Teori ini beranggapan bahwa
perilaku hubungan seks misalnya, dapat dipelajari tanpa meneliti ketika
proses pembelajaran berlanrgsung, tetapi melalui observasi terhadap
orang lain dan kejadian lain. Misalnya jika kita melihat seseorang
dihukum karena melakukan hubungan seks pra nikah, kita harus
menghilangkan kesukaan pribadi pada hubungan serupa itu. Untuk masalah
penyerangan seksual secara luas, teori ini menggaris bawahi
factor-faktor yang betul-betul penting dari pengalaman masa lalu,
seperti pengaruh pengasuhan, norma-norma social, kejadian biologis, dan
bagaimana pengalaman seksual terakhir membentuk cara berpikir dan cara
bertindak secara seksual.[8]
Hasil penelitian tentang kekerasan
terhadap istri dan kesehatan perempuan di Jawa Tengah memperlihatkan
data tentang perempuan yang ayahnya pernah memukul ibu mereka, atau
mertuanya talah memukul istrinya, lebih mungkin dianiaya oleh suaminya.
Hasil serupa ditemukan dalam banyak studi internasional yang lain di
Amerika serikat, Amerika Latin, dan Asia. Pada umumnya, para peneliti
percaya bahwa perempuan yang tak terlindungi terhadap kekerasan semasa
kecilnya mungkin akan melihatnya sebagai suatu kejadian yang normal, dan
karenanya tak pernah memperhatikan tanda-tanda peringatan dari suami
penganiaya. Disisi lain, jika seorang anak laki-laki menyaksikan ayahnya
memukul ibunya, dia akan belajar bahwa hal itu adalah jalan terbaik
untuk memperlakukan perempuan, dan karena itu dia lebih mungkin untuk
kemudian menganiaya istrinya sendiri. Ini disebut sebagai “penularan
kekerasan antar generasi (intergenerational transmission of violence)”. [9]
Proses inkulturasi dalam rumah tangga
yang dilakukan melalui proses pengasuhan anak, menjadi cara belajar
peran jender yang paling effektif tentang bagaimana menjadi laki-laki
dan bagaimana menjadi perempuan yang diizinkan oleh masyarakat.[10]
Luce Irigaray, seorang feminis postmodernisme dari Perancis menandaskan
bahwa “demokrasi dimulai dari rumah”. Demokrasi yang menanamkan
nilai-nilai hak asasi manusia, kesetaraan dan kebebasan, menurutnya,
ditanamkan pada awalnya dari rumah. Oleh sebab itu, ia yakin benar bahwa
peranan ibu atau perempuan dalam mendidik anaknya di rumah menjadi
sangat menetukan. Terutama pendidikan yang mengajarkan saling mengasihi,
pengembangan aspek emosional, kesensitifan, keperdulian dan
keterhubungan satu sama lain menjadi penting.[11]
Fenomena Gunung EsRumah,
dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat yang paling aman dan nyaman
untuk ditempati. Rumah adalah tempat bermuaranya seluruh petualangan dan
kelelahan. Di rumahlah orang bersikap paling natural, tidak
dibuat-buat, tidak harus jaga image, dan sebagainya. Secara umum
masyarakat beranggapan, bahwa tempat yang berbahaya adalah di luar
rumah. Maka ketika rumah dituding sebagai tempat berlangsungnya
kekerasan, semua orang memberikan respons yang beragam.
Karena KDRT terjadi dalam lingkup
personal yang penuh muatan relasi emosi, penyelesaianya tidak segampang
kasus-kasus kriminal dalam konteks publik. Suara perempuan atau korban
kekerasan domestic cenderung membisu. Terdapat beberapa alasan yang
menyebabkan tindakan KDRT seperti fenomena gunung es,[12] lebih banyak kasus yang terpendam ketimbang yang terlihat.
Beberapa alasan yang membuat korban enggan melakukan tindakan hukum ketika terjadi kekerasan, antara lain:
- Bahwa tidakan kekerasan yang dialami adalah sesuatu yang lumrah terjadi, bahkan dianggap sebagai proses pendidikan[13] yang dilakukan suami terhadap istri, atau orangtua terhadap anak. Anggapan ini dihubungkan dengan kepercayaan bahwa suami adalah pemimpin keluarga, sehingga mempunyai hak mengatur (kalau perlu dengan kekerasan) terhadap anggota keluarganya.
- Harapan bahwa tindak kekerasan akan berhenti. Tindakan kekerasan mempunyai “siklus kekerasan”[14] yang menipu. Hal itu dibungkus sebagai rasa cinta dan komitmen pada pasangannya, tetapi terus berulang.
- Ketergantungan ekonomi. Jika perempuan memiliki kemandirian ekonomi dan mempunyai hak/wibawa dan kekuasaan di luar keluarga, tingkat kekerasan oleh pasangannya menjadi lebih rendah.[15]
- Demi anak-anak. Pengetahuan umum yang melihat anak akan menjadi korban konflik orangtua, seringkali menyebabkan perempuan mengalah. Sosok ideal perempuan menjelma pada diri seorang ibu yang berkorban serta membaktikan dirinya pada anak-anak dan suami, sehingga kebutuhan dan identitas dirinya menjadi hilang dalam rutinitas rumah tangga yang dijalaninya. Pengorbanan ini tidak hanya hidup dalam budaya dan masyarakat, melainkan realitas agama. Bunda Maria digambarkan sebagai sosok ibu yang berkorban untuk anaknya dan mendapatkan kebahagiaan dalam membahagiakan orang lain. Para perempuan, menurut Daly,[16] harus mampu mengatakan “tidak” terhadap moralitas pengorbanan, sehingga kedirian perempuan atau ethic of personhood (etika diri) menjadi muncul dalam menanggapi keinginan dan kebutuhan personal perempuan.
- Rasa lemah dan tidak percaya diri serta rendahnya dukungan dari keluarga dan teman. Pandangan masyarakat terhadap perempuan janda membuat perempuan korban kekerasan tetap mempertahankan perkawinannya, dan keluarga sulit memberikan dukungan sebagai akibat stigma tresebut.
- Tekanan lingkungan untuk tetap bertahan dalam hubungan itu dan anggapan bahwa tindak kekerasan itu adalah akibat kesalahan dia.
Secara teoritis, para ahli studi perempuan menyebut alasan-alasan di atas dengan istilah Sindrom Tawanan (Hostage Syndrome) yaitu
gambaran bagi perempuan yang terjerat secara fisik maupun psikologis
oleh norma budaya dan masyarakat. Keterjeratan ini bisa terjadi dalam
keluarga, seperti perempuan harus mengasuh anak dan suami, serta
menganggap lumrah perlakuan kasar suaminya. Dalam masyarakat, perempuan
tidak mempunyai hak untuk menentukan jodoh, sehingga kondisi psikologis
perempuan mengalami sindrom ketergantungan dengan sistem nilai
laki-laki. Pada awalnya, konsep sindrom tawanan ini dikembangkan untuk
memahami keberhimpitan paradoksal dari tawanan (perempuan) pada
penawannya (suami, masyarakat, dan budaya), dan kemudian diterapkan
dalam upaya memahami situasi perempuan sebagai korban. Efek tawanan itu
kemudian dikembangkan, baik oleh orang yang menawan atau oleh masyarakat
pada umumnya. Sebagai tawanan masyarakat, perempuan korban
sangat sulit untuk meninggalkan pasangannya, karena lingkungan sosial
kemasyarakatan tidak memberikan dukungan yang cukup untuk melakukannya.
Variabel dari realitas sosial kemasyarakatan itu antara lain norma
perkawinan, peran perempuan dalam perkawinan, pesan yang diterima
perempuan sejak masa kecil, tiadanya dukungan dalam keluarga dan
masyarakat, tidak adanya sumber daya ekonomis yang memungkinkan bisa
hidup mandiri, serta perlindungan hukum yang tidak memadai.
Dengan situasi sosial seperti itu,
perempuan korban kemudian beralih ke sumber daya personalnya sendiri.
Untuk dapat bertahan, ia merasionalisasi penganiayaan yang dialaminya
sebagai respons alami yang ditampilkan pasangannya dalam menghadapi
tekanan. Jadi, perempuan korban kemudian mengadopsi norma-norma budaya
yang mengabsahkan kekerasan pasangan (laki-laki). Bahkan perempuan, pada
akhirnya menginternalisasi pandangan bahwa perempuan bertanggungjawab
untuk memastikan keberhasilan perkawinan. Dalam kondisi atau keadaan
keterjeratannya, perempuan akan dengan mudah menginternalisasi,
menghayati banyak perasaan negatif, seperti rasa malu, bimbang, merasa
berdosa, menyalahkan diri sendiri, dan sebagainya. Kondisi keterjebakan
seperti ini dan ketidakmampuan mencari jalan alternatif pemecahan,
menyebabkan perempuan sulit keluar dari kekerasan yang ada.[17]
Penutup UU-PKDRT no.
23 tahun 2004, terlepas dari debat yang melingkupinya, telah menggeser
wilayah persoalan privat menjadi persoalan publik. Ada harapan besar
dari implementasi UU ini diantaranya terhentinya budaya kekerasan yang
ada di tengah masyarakat, dimulai dari wilayah yang paling menetukan
yaitu rumah. Stereotype jender yang telah melekat pada laki-laki dan
perempuan, seringkali menjebak kedua jenis kelamin ini pada posisi yang
sulit. Hal ini juga menandakan, mereka yang bergerak pada wilayah feminist legal theory yang berusaha
merekonstruksi sistem hukum yang netral, obyektif, dan transformative,
mulai menuai hasil. Netralitas hukum yang mengandaikan imparsial (tidak
memihak) pada satu pihak atau golongan, sehingga dalam perkembangannya
hukum berdampak pada keberadaan perempuan. Obyektivitas hukum dicapai
jika polaritas dan dikotomi maskulin-feminin dihilangkan. Dengan
demikian, kekerasan di wilayah domestik juga dianggap sebagai tindak
kejahatan. Transformatif bermakna tidak hanya perubahan dalam traktat
hukum, melainkan modifikasi mekanisme hukum yang adil bagi perempuan. Feminist legal theory memperjuangkan konsep hukum yang didasari oleh pengalaman perempuan sebagai starting point. Kesadaran hukum bagi perempuan pun perlu dibangun untuk memperoleh hak-hak dan kesempatan yang sama.
Jika ketidaksetaraan dan ketidakadilan
dalam menempatkan posisi laki-laki dan perempuan adalah konstruksi
masyarakat, maka kekerasanpun adalah bagian dari konstruksi itu.
Masyarakat bertanggung jawab atas pembelajaran tentang bagaimana menjadi
laki-laki, sehingga laki-laki mengaktualisasi kemaskulinannya melalui
tampilan diri yang macho, gagah, kuat, agresif. Maka sekarang saatnya
bagi masyarakat mengubah pelabelan jender ini menjadi lebih manusiawi,
sehingga cara-cara mengaktualisasikan diri juga menjadi lebih assertif
di masyarakat. Dengan demikian, keadilan jender sebagai suatu kondisi
dan perlakuan yang adil terhadap perempuan dan laki-laki dapat terwujud.
Diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan hal-hal yang secara
psikis, politik, dan sosial budaya menghambat perempuan dan laki-laki
untuk bisa berperan dan menikmati hasil dari perannya itu. Kesetaraan
yang adil merupakan suatu konsep yang mengakui faktor-faktor khusus
seseorang serta memberikan haknya sesuai dengan kondisi orang tersebut (person-regarding equality).
Jadi, bukan memberikan perlakuan yang sama kepada individu yang berbeda
kebutuhan dan aspirasinya, tapi memberikan perhatian yang sama kepada
setiap individu agar kebutuhannya dapat terpenuhi.
Sudah waktunya pemerintah bersama-sama masyarakat mencanangkan Zero tolerance
terhadap kekerasan. Artinya tidak ada toleransi sekecil apapun terhadap
tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat,
dan negara. Kebijakan ini sebagai bagian dari penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini sejalan dengan PBB (united Nations) yang telah membentuk Komisi Kedudukan Perempuan (Commission on the Status of Women)
yang bertugas menentukan langkah-langkah, kebijakan, serta memantau
tindakan PBB bagi kepentingan perempuan. Hal ini dilakukan karena PBB
melihat bahwa diskriminasi terhadap perempuan tetap berlangsung di
banyak negara sehingga perlu dikeluarkannya sebuah Deklarasi Penghapusan
Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Daftar Pustaka
Allgeier, Elizabeth Rice dan Albert Richard Allgeier. 1991. Sexual Interaction. Third Edition. Toronto: DC Health and Company.
Arivia, Gadis. Perempuan Sebagai Pemelihara Perdamaian. Dalam Jurnal Perempuan vol. 26 th 2002.
Budiman, Arief,1981. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis Tentang Peran Wanita Di Dalam Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Foucault, Michel. 1997. Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas. Rahayu S. Hidayat (Penerj.) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hakimi, Mohammad. et. All. Membisu Demi Harmoni “Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia”. 2001. LPKGM-FK-UGM. Yogyakarta.
Humm, Maggie,1990. Dictionary of Feminist Theory. Ohio: Ohio State University Press.
Kramarae dan Treichler. 1991. Feminist Dictionary. Boston: The University of Illinois Press.
Luhulima, Achie ed. 2000. Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta: Kelompok Kerja “Convention Wacth” Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia.
Mas’udi, Masdar F,1997. Islam Dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan. Bandung: Mizan.
Poerwandari, Kristi. 2006. Penguatan Psikologis untuk Menanggulangi Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Seksual. Jakarta: Program Kajian Wanita – PPs-UI.
Poerwandari, Kristi E dan Rahayu Surtiati Hidayat (ed.),2000. 10 Tahun Program Studi Kajian Wanita:Perempuan Indonesia Dalam Masyarakat Yang Tengah Berubah, Jakarta: Ford Foundation, EHWA, Womens University Seoul Korea, Program Studi Kajian Wanita UI.
Venny, Adriana. Penguasa dan Politik Tubuh. Dalam Jurnal Perempuan edisi 15.
[1] Secara lebih luas Kristi Poerwandari memerinci bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan sebagai barikut:
- Kekerasan fisik, seperti memukul, menampar, mencekik dan sebagainya.
- Kekerasan psikologis, seperti berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, melecehkan dan sebagainya.
- Kekerasan seksual, seperti melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, mencium, memaksa hubungan seks tanpa persetujuan korban dan sebagainya.
- Kekerasan berdimensi financial, seperti mengambil uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhuan kebutuhan financial dan sebagainya.
- Kekerasan spiritual, seperti merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban mempraktikan ritual keyakinan tertentu. (dalam Luhulima, Achie ed. 2000. Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta: Kelompok Kerja “Convention Wacth” Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia. h. 11)
[2]
Merupakan suatu ideologi yang dikembangkan laki-laki untuk
menghilangkan peran perempuan dalam relasi sosial; suatu simbol
keberadaan laki-laki yang prinsipil; suatu kekuasaan yang dominan dari
sang bapak; suatu bentuk tekanan laki-laki atas seksualitas dan
fertilitas perempuan; dan suatu gambaran tentang dominasi laki-laki
dalam struktur lembaga dan institusi. Dalam antropologi budaya,
patriarkal pada awalnya mengacu kepada struktur sosial di mana ayah (pater) atau laki-laki tertua (patriarch)
memiliki kekuasaan mutlak dalam keluarga sehingga perempuan dalam
keluarga tersebut menjadi harta dan hak miliknya (Kramarae dan
Treichler. 1991. Feminist Dictionary. Boston: The University of Illinois Press. h. 323 ).
[3]
Pertama, bermacam hubungan kekuatan, yang imanen di bidang hubungan
kekuatan itu berlaku, dan yang merupakan unsur-unsur pembentuk dan
organisasinya; kedua, permainan yang dengan jalan perjuangan dan
pertarungan tanpa henti mengubah, memperkokoh, memutarbalik; ketiga,
berbagai hubungan kekuatan yang saling mendukung sehingga membentuk
rangkaian atau system, atau sebaliknya, kesenjangan, dan kontradiksi
yang saling mengucilkan; terakhir, strategi tempat hubungan-hubungan
kekuatan itu berdampak, dan rancangan umumnya atau kristalisasinya dalam
lembaga terwujud dalam perangkat Negara, perumusan hukum, dan hegemoni
social (Foucault, Michel. 1997. Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas. Rahayu S. Hidayat (Penerj.) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. h. 113-114)
[4]Identitas
gender bermakna definisi seseorang (laki-laki dan perempuan) tentang
eksistensi dirinya sebagai proses pembelajaran atau interaksi yang
kompleks antara status biologisnya dengan atribut-atribut dan
karakteristik perilaku yang dikembangkan sebagai hasil dari
pembelajaran, interaksi, dan sosialisasinya dalam masyarakat dan budaya.
Karena berbeda dalam status biologis, maka berkembang stereotip dalam
masyarakat bahwa antara laki-laki dan perempuan berbeda, yang
menyebabkan hubungan yang asimetris. Atas dasar ini, kemudian berkembang
persepsi diri dan konsep diri yang berbeda di antara keduanya.
Identitas gender lebih dilihat sebagai
sebuah konstruksi sosial, baik disadari maupun tidak, oleh laki-laki dan
perempuan melalui proses interaksi, sosialisasi, dan lain sebagainya,
dalam relasinya sebagai anggota masyarakat.
[5] Poerwandari dalam Luhulima. 2000. . Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta: Kelompok Kerja “Convention Wacth” Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia. h. 18.
[6] Humm, Maggie,1990. Dictionary of Feminist Theory. Ohio: Ohio State University Press. h. 308.
[7]Budiman, Arief,1981. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis Tentang Peran Wanita Di Dalam Masyarakat. Jakarta: Gramedia. h. 16.
[8] Allgeier, Elizabeth Rice dan Albert Richard Allgeier. 1991. Sexual Interaction. Third Edition. Toronto: DC Health and Company. h. 84-88.
[9] Mohammad Hakimi et. All. Membisu Demi Harmoni “Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia”. 2001. LPKGM-FK-UGM. Yogyakarta. h. 64.
[10]
Secara lebih gamblang dapat dijelaskan, keluarga adalah agen
sosialisasi sangat penting dalam kehidupan individu. Melalui keluarga
individu belajar tentang konsep perempuan, laki-laki, istri, suami,
ayah, ibu, juga belajar tentang diri sendiri. Ia belajar bagaimana orang
lain memperlakukan dan menghargai dia, dan melalui sikap-sikap orang
lain tersebut, ia juga belajar memperlakukan diri sendiri. Anak yang
terus menerus dicela dan dihukum orangtua misalnya, akan menanamkan
pemahaman dalam diri bahwa ia kurang sesuai dengan harapan orangtua,
tidak dicintai, ditolak, atau hanya dihargai bila memenuhi syarat-syarat
tertentu. Dalam keluarga anak juga belajar bagaimana harus berelasi
dengan orang lain: apakah dapat berelasi saling menghargai, atau justru
harus mengancam untuk dapat memperoleh yang diinginkan? ( Poerwandari,
Kristi. 2006. Penguatan Psikologis untuk Menanggulangi Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Seksual. Jakarta: Program Kajian Wanita – PPs-UI. h. 25.
[11] Gadis Arivia. Perempuan Sebagai Pemelihara Perdamaian. Dalam Jurnal Perempuan vol. 26 th 2002. h. 5.
[12]
Perempuan yang mengalami kekerasan tidak selalu memilih penanganan
hokum (melapor kepada polisi) sebagai langkah pertama. Hanya 15,3%
korban kekerasan domestik yang mengadu pada penegak hokum (polisi atau
pengadilan untuk bercerai) sebelum mengadu ke crisis center sebagai
lembaga yang dipercayainya untuk mendapatkan perlindungan (Kalibonso
dalam Luhulima, 2000. h. 139). Tinjauan yang dilakukan atas sekitar 50
penelitian berbasis populasi yang diadakan di 36 negara menunjukan bahwa
10 – 60% perempuan yang pernah menikah atau mempunyai pasangan,
setidaknya mengalami satu kali insiden kekerasan fisik dari pasangan
intim atau mantan pasangan intimnya (Heise, dalam Hakimi. 2001. h. 6).
Dan sebagai perbandingan, di Amerika Serikat disebutkan bahwa hanya ada
satu kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dari 10 kasus
kekerasan yang sebenarnya terjadi (Luhulima. 2000. h. 117).
[13]Pandangan penganut mazhab Syafi’i (yang banyak dianut di Indonesia) melihat perkawinan sebagai aqad tamlik (kontrak
kepemilikan), di mana dalam pernikahan seorang suami melakukan
pembelian perangkat seks sebagai alat melanjutkan keturunan. Sehingga
pihak laki-laki adalah pemilik dan sekaligus penguasa perangkat seks
yang ada pada tubuh istrinya dan pemilik anak yang dihasilkannya. Hak
seksual perempuan dipersepsi secara dangkal. Dalam banyak kasus,
hubungan seksualitas hanya diartikan sebagai kewajiban isteri terhadap
suami atau laki-laki mempunyai inisiatif untuk melakukan hubungan
tersebut. Hubungan asimetris ini mengakibatkan dominasi sehingga
perempuan banyak dirugikan dalam hal kesehatan seksual dan
reproduksinya. Bahkan sering terjadi tindakan kekerasan dalam bentuk marital rape (perkosaan dalam perkawinan), Masdar F. Mas’udi, memberikan pemikiran antitesa dengan melihat perkawinan adalah aqad al-ibahah (kontrak
untuk membolehkan sesuatu, dalam hal ini hubungan seks, yang semula
dilarang). Artinya, dengan perkawinan, organ seksual perempuan tetap
merupakan milik perempuan yang dinikahi, hanya saja organ ini kemudian
menjadi halal untuk dinikmati oleh seseorang yang menjadi suaminya.
Berdasarkan definisi ini, hubungan seksual dilaksanakan bukan
semata-mata urusan suami belaka melainkan urusan kedua belah pihak
(Mas’udi, Masdar F,1997. Islam Dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan. Bandung: Mizan. h. 105-118).
[14]
Fase romantis, saling tertarik, mengembangkan harapan-harapan positif.
Lalu terjadi konflik, karena tuntutan-tuntutan tertentu tidak terpenuhi.
Terjadilah tindakan kekerasan. Setelah itu cooling down, muncul rasa
bersalah, dan saling memaafkan. Kemudian masuk lagi pada fase “bulan
madu” dan fase romantis, demikian terus berulang-ulang.
[15] Hakimi. 2001. h. 93.
[16] Mary Daly menggunakan istilah Moralitas Pengorbanan (Morality Of Victimization) mengenai konsep penyerahan diri secara total (total surrender)
perempuan terhadap nilai-nilai maskulin, dikarenakan konstruksi sistem
patriarkal terhadap sistem nilai feminin dalam budaya (Adriana Venny
dalam Jurnal Perempuan edisi 15. h. 28).
[17]Poerwandari, Kristi E dan Rahayu Surtiati Hidayat (ed.),2000. 10 Tahun Program Studi Kajian Wanita:Perempuan Indonesia Dalam Masyarakat Yang Tengah Berubah, Jakarta: Ford Foundation, EHWA, Womens University Seoul Korea, Program Studi Kajian Wanita UI. h. 315.
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/647-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt-persoalan-privat-yang-jadi-persoalan-publik.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar