Ditulis oleh Arist Merdeka Sirait
Rabu, 18 Agustus 2010 11:04
Sesungguhnya,
jauh sebelum pemerintah Indonesia mengadopsi Deklarasi Kongres Dunia
menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Stochkolm, 1996), serta
meratifikasi Konvensi ILO No. 182 tentang tindakan segera penghapusan
bentuk-bentuk terburuk pekerja anak, kasus perdagangan anak di Indonesia
untuk tujuan eksploitasi seksual komersial, sudah cukup lama dikenal.
Fakta ini dapat dlihat bahwa di kota-kota besar, anak-anak usia 13-15
tahun dapat ditemukan di tempat-tempat bordil, diskotik, bar maupun
tempat-tempat perbelanjaan atau mal.
Menurut laporan situasi Anak dan
perempuan (Unicef 2000), anak dibawah usia 18 tahun yang tereksploitasi
secara seksual dilaporkan mencapai 40-70 ribu anak. Sementara itu,
menurut Pusat Data dan Informasi CNSP Center, pada tahun 2000, terdapat
sekitar 75.106 tempat pekerja seks komersial yang terselubung ataupun
yang "terdaftar". Sementara itu, menurut M. Farid (2000), memperkirakan
30 % dari penghuni rumah bordil di Indonesia adalah perempuan berusia
18 tahun ke bawah atau setara dengan 200-300 ribu anak-anak. Di Malaysia
dilaporkan terdapat 6.750 pekerja seks komersial (PSK). 62,7 % dari
Jumlah PSK tersebut berasal dari Indonesia atau sekitar 4.200 orang
dan 40% dari jumlah tersebut adalah anak-anak berusia antara 14-17
tahun.
Daerah pengirim perdagangan anak untuk
tujuan eksploitasi seksual komersial tersebut umumnya adalah dari
daerah-daerah kantong kemiskinan, seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggaran Timur, Sumatera Utara, Sumatra Barat, Lampung, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi
Tenggara. Sedangkan daerah penerima atau transit di Indonesia adalah
kota-kota besar, kota industri, daerah wisata seperti Lombok, Bali,
Batam dan daerah wisata lainnya. Di Luar Indonesia negara penerima atau
tujuan (destination) adalah Singapura, Malaysia, Thailand, Hongkong,
Arab Saudi, Taiwan , Australia bahkan Eropah Timur.
Sementara itu, aktor-aktor yang terlibat
dalam perdagangan anak adalah keluarga, teman, agen perantara
pengiriman tenaga kerja, agen pemerintah antara lain dalam pembuatan
KTP, paspor palsu maupun organisasi sindikat seks komersial, pedofile
dan distributori narkoba. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
masalah ini adalah tiadanya akte kelahiran, perkawinan usia muda,
pekerja migran, kekerasan terhadap perempuan, juga dampak dari konflik
sosial, eknik dan konflik bersenjata yang berlangsung di beberapa
daerah.
Berdasarkan penelusuran CNSP Center
(2001), di Jakarta, pusat-pusat perbelanjaan atau mal adalah "sarang"
untuk mendapatkan anak-anak untuk siap diajak kencan. Pada umumnya
mereka berusia dibawah usia 16 tahun dengan berpenampilan menarik dan
cantik. Sebut saja Mal di daerah Blok M, Kalibata, Senen, Bekasi, atau
Rawamangun. Anak-anak sekolah yang siap untuk diajak bermain apa saja
dikoordinasi secara terorganisir oleh jaringan sindikat eksploitasi
seksual komersial.
Anak-anak tersebut tidak saja ditemukan
di mal-mal ataupun pusat perbelanjaan, namun juga di hotel menengah
hingga hotel mewah. Sebuah hotel berbintang di Jakarta Timur, misalnya
dikenal sebagai basis untuk memperoleh anak-anak sekolah. Modus
operandinya, konsumen tinggal datang ke hotel tersebut, memesan kamar,
dan kemudian memesan anak yang diinginkan. Di Hotel tersebut tidak sulit
untuk mengenal orang-orang yang berprofesi sebagai mucikari. Jumlah
mereka banyak, bahkan mereka terlihat agresif dengan mendatangi tamu
yang memesan kamar untuk menawarkan anak-anak bawaan mereka.
Tarif rata-rata untuk anak-anak usia SMP atau SMU untuk short time
berkisar antara Rp. 200.00-Rp. 300.000, tariff ini sudah termasuk jasa
untuk mucikarinya. Setelah negosiasi harga disepakati, mucikari siap
menghubungi temannya yang berada di mal atau pusat-pusat perbelanjaan
untuk membawa anak yang dimaksud sesuai dengan pesanan.
Perdagangan anak untuk tujuan
eksploitasi seksual komersial tidak hanya terjadi di Indonesia saja.
Menurut Laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), secara global
memperkirakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di dunia
terdapat 30 juta anak perempuan diperdagangkan. 225.000 orang
diantaranya berasal dari Asia Tenggara dan 150.000 orang dari Asia
Selatan. Dari Kawasan Asia Tenggara, menurut laporan tersebut, Indonesia
diduga yang paling terbanyak memperdagangkan perempuan dan anak. Masih
menurut sumber badan PBB tersebut, dari perdagangan anak diperkirakan
memperoleh keuntungan US$ 7 Miliar per tahun
Definisi Bentuk-bentuk Eksploitasi Seksual KomersialUntuk
mengetahui definisi dan pengertian yang baku terhadap bentuk-bentuk
eksploitasi seksual komersial terhadap anak, Kongres Dunia menentang
Seksual Komersial terhadap Anak (The world Congress for Against Sexual Commercial Exploitation of the Children) yang
diselenggarakan di Stockholm, Swedia tahun 1996, menetapkan bahwa semua
bentuk Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak adalah merupakan
pelanggaran mendasar atas hak-hak anak dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Oleh karena itu, setiap negara yang menjadi peserta
Konvensi Hak Anak (state Party), bila membiarkan semua
bentuk Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak tanpa melakukan
langkah-langkah pencegahan, perlindungan maupun pembasmian terhadap
kejahatan kemanusiaan tersebut, maka negara peserta Konvensi hak Anak
(KHA) dapat dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Sebab, salah satu hak
mendasar yang melekat dalam dari anak adalah hak mendapat perlindungan
(protection Rigths) yang memadai dari negara.
Merujuk ketentuan pasal 34 dan 35
Konvensi Hak Anak (KHA), setiap negar di dunia yang telah meratifikasi
KHA diwajibkan melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seks dan
penyalagunaan seksual. Kemudian untuk mengimplementasikan maksud dari
pasal 34 dan 35 KHA tersebut, ketentuan KHA mensyaratkan negara-negara
peserta diharuskan mengambil semua langkah-langkah nasional, bilateral
dan multilateral guna mencegah bujukan atau pemaksanaan anak untuk
melakukan semua bentuk kegiatan seksual, penyalagunaan anak-anak
secara eksploitatif dalam bentuk pelacuran atau praktek seksual lainnya
serta pengggunaan anak-anak untuk pertunjukan porno dan bahan-bahan
pornografis.
Bentuk-bentuk dari kegiatan Seksual
Komersial terhadap anak, baik Deklarasi Kongres Dunia Menentang
Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak maupun ketentuan KHA dan UU
Perlindungan Anak mendefinisikan bahwa eksploitasi seksual komersial
terhadap anak meliputi kegiatan penyalagunaan seksual anak oleh orang
dewasa dengan cara paksa (coercion), pemberian uang atau
sejenisnya kepada anak yang bersangkutan ataupun kepada pihak ketiga,
anak dijadikan sebagi objek seks serta objek komersial. Eksploitasi
seksual Komersial anak juga dapat dilihat dalam bentuk paksaan serta
kekerasan terhadap anak-anak, dalam bentuk kerja paksa dan bentuk
perbudakan modern (comtemporary form of Slavery).
Dalam merespon kasus-kasus perdagangan
anak untuk tujuan Eksploitasi Seksual Komersial, Kantor Komisi Tinggi
PBB untuk Hak Asasi Manusia, Unicef, Organisasi International untuk
Migran (IOM) dan organisasi international ECPAT (End Child Prostitution in Asia Tourism) memberikan definisi yang luas dan menyeluruh tentang perdagangan anak ( child trafficking). Definisi perdagangan tersebut memuat rujukan khusus tentang trafficking sebagai kegiatan yang mengandung perekrutan (recruitmen), pengangkutan (transportation), Pengiriman (transfer), pemberian perlindungan (harboring) atau penerimaan (receipt)
atas siapapun dengan menggunakan ancaman atau kekerasan, paksaan,
penculikan, pemalsuan, penipuan, atau penyalagunaan kekuasaan untuk
tujuan perbudakan, kerja paksa termasuk kerja yang terikat atau karena
tujuan perbudakan. Dengan demikian, apabila unsur-unsur yang menjadi
rujukan telah terpenuhi, maka kegiatan tersebut dapat dikategorikan
sebagai perdagangan anak, baik untuk keperluan eksploitasi seksual
maupun eksploitasi ekonomi.
Langkah-langkah dan Tanggungjawab Pemerintah Untuk
pencegahan dan perlindungan terhadap kasus-kasus eksploitasi Seksual
Komersial terhadap anak, penulis menyarankan agar pemerintah dalam hal
ini Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial
sebagai leading sector segera berkonsentrasi menyiapkan agenda nasional dan indikator kemajuan, dengan serangkaian tujuan yang menekankan tujuh aspek penting yakni:
pertama, Pemerintah termasuk legislatif, yudikatif, Kepolisian, Departemen Luar negeri dan kantor Imigrasi agar memberikan prioritas utama pada tindakan untuk menentang eksploitasi seksual komersial anak dan mengalokasikan sumber daya yang memadai.
Meningkatkan kerjasama yang lebih mantap antar Negara dan semua sektor masyarakat untuk mencegah anak-anak memasuki perdagangan seks serta memperkuat peran serta keluarga dalam melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial.
pertama, Pemerintah termasuk legislatif, yudikatif, Kepolisian, Departemen Luar negeri dan kantor Imigrasi agar memberikan prioritas utama pada tindakan untuk menentang eksploitasi seksual komersial anak dan mengalokasikan sumber daya yang memadai.
Meningkatkan kerjasama yang lebih mantap antar Negara dan semua sektor masyarakat untuk mencegah anak-anak memasuki perdagangan seks serta memperkuat peran serta keluarga dalam melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial.
Kedua,
menindak pelaku eksploitasi seksual komersial anak, dan bentuk-bentuk
lain dari eksploitasi seksual anak, serta mengutuk dan menghukum semua
yang terlibat dalam pelanggaran, baik itu warga lokal maupun asing,
serta menjamin agar anak-anak yang menjadi korban praktek eksploitasi
seksual komersial tidak dihukum.
Ketiga,
memobilisir penegakan hukum, kebijakan, program-program yang melindungi
anak-anak dari eksploitasi seksual komersial dan memperkuat komunikasi
dan kerjasama antar pihak penegak hukum, mendorong penerapan,
implementasi serta diseminasi Undang-undang Perlindungan Anak.
Mengembangkan dan melaksanakan rencana dan program yang sensitif gender
untuk mencegah eksploitasi seksual komersial anak, melindungi dan
membantu anak yang menjadi korban serta memfasilitasi pemulihan juga
program-program reintegrasi anak kedalam masyarakat;
Keempat,
pemerintah segera mengimplementasikan dua Protokol tambahan dari
Konvensi Hak Anak tentang Penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi
anak dan Konvensi transnational organized Crime beserta dua
protokolnya, yakni protokol tentang pencegahan dan penanggulangan
perdagangan perempuan dan protokol penyelundupan orang.
Kelima, pemertintah
segera menciptakan iklim pendidikan, mobilisasi sosial, juga aktivitas
pengembangan untuk menjamin agar orang tua bertanggung jawab atas
anak-anak untuk memenuhi hak-hak anak, kewajiban dan tanggungjawab untuk
melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial;
Keenam,
pemerintah dan masyarakat segera memobilisir mitra politik, masyarakat
nasional maupun internasional, termasuk lembaga pemerintah dan LSM,
untuk membantu menghapus segala bentuk eksploitasi seksual komersial
anak serta memacu peran partisipasi masyarakat yang popular, termasuk
partisipasi anak-anak, dalam mencegah serta menghapus eksploitasi
seksual komersial anak.
Ketujuh, memobilisir
sektor bisnis, termasuk industri wisata, untuk menentang penggunaan
jaringan dan pembentukannya bagi eksploitasi seksual komersial dan
mendorong kalangan profesional, media untuk mengembangkan strategi yang
memperkuat peran media dalam memberikan informasi yang bermutu, bisa
dipercaya serta standar etika yang mencakup semua aspek ekploitasi
seksual komersial.
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/648-eksploitasi-seksual-komersial-mengintai-anak-kita.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar